Setelah berfoto dan menghabiskan kue ulang tahun, kini Alana dan Danu tengah mengobrol di ruang tamu. Obrolan mereka kali ini tampak hangat. Bahkan sesekali Alana akan tertawa atau tersenyum menggeleng-gelengkan kepalanya saat Danu mulai mengajaknya berseloroh.
Winarti sedang tidur siang. Sementara Rehan sendiri sibuk dengan kamera milik Danu. Menatap satu per satu foto hasil jepretannya sambil tersenyum.
“Ibuku menitip salam untukmu dan Rehan. Katanya dia juga merindukan Rehan. Bahkan ibuku sering bertanya, kapan Alana akan datang lagi ke jogja dan membawa Rehan untuk berkunjung ke rumah kita?” Danu bercerita sembari menirukan ucapan ibunya yang mana sudah menganggap Rehan seperti cucunya sendiri.
Alana tersenyum. Hatinya terenyuh mendengar cerita Danu.
“Tidak menutup kemungkinan jika suatu saat nanti mungkin aku akan datang kembali ke jogja. Tapi bukan untuk pulang. Karena tempatku yang sebenarnya adalah di Jakarta. Jogja hanyalah sebuah tempat untukku bersinggah sementara. Sampaikan pada ibumu, Danu. Kalau aku dan Rehan pun merindukan dia.”
Danu mengangguk membalas senyum Alana. Meski terbesit sebuah keinginan dalam hatinya, agar Alana mau kembali ke jogja dan tinggal lagi di sana. Tetapi rupanya Jakarta sudah menjadi tempat baru bagi Alana. Dan Danu yang bukan siapa-siapa, tak bisa mencegah hal itu.
“Ayah! Ayah! Nanti kita cetak foto yang ini ya, Yah. Rehan suka sekali dengan foto Mama yang nyuapin kue ke mulut Ayah,” seru Rehan mendekati Danu sambil menunjukan lagi foto yang tadi ia ambil itu. Danu mengangguk mengiyakan.
“Siap, Boss! Nanti fotonya kita cetak, ya!” Danu mengacak-acak rambut Rehan. Tapi bocah mungil itu tak protes. Dengan tetap asyik menatap kamera, Rehan mendudukan dirinya di atas paha Danu. Tak canggung lagi memerlakukan Danu seperti seorang ayah.
“Terus kalau fotonya sudah dicetak nanti, Rehan mau simpan di dalam dompetnya Mama. Biar Mama bisa lihat terus wajah Ayah. Boleh ya, Ma?”
Alana tertegun sejenak mendengar permintaan Rehan. Dengan ragu Danu dan Alana saling pandang, tapi kemudian Alana kembali mengalihkan tatapannya pada Rehan, lantas mengangguk dengan senyum tipis.
“Boleh.”
“Hore! Rehan jadi gak sabar deh, mau lihat hasil fotonya kalau sudah dicetak.”
“Pasti bagus dong. Kan yang motonya Rehan,” tambah Danu mengeratkan pelukannya perut Rehan yang berada dalam pangkuan. Lalu menggelitiki pinggang bocah itu hingga tertawa-tawa.
Alana hanya tersenyum menggelengkan kepala melihat tingkah menggemaskan Danu dan Rehan.
Namun saat itu suara ketukan pintu membuat perhatian mereka teralihkan.
“Biar Mama yang buka,” ucap Alana saat Rehan hendak turun dari pangkuan Danu.
Alana bangkit berdiri dari kursinya. Lantas membuka pintu tak terlalu lebar. Keningnya berkerut saat melihat seorang lelaki bertopi membawa sebuah buket bunga mawar besar dan sebuah kotak merah muda di tangannya.
“Selamat siang, benarkah ini rumah Mbak Alana?” tanya lelaki itu. Dan Alana menganggukan kepala.
“Iya. Saya sendiri.”
“Ini ada kiriman untuk Anda. Mohon diterima, Mbak!”
Meski masih bingung, tetapi Alana tak urung menerima bunga dan kotak itu dari si pengantar.
“Ini kiriman dari siapa ya, Pak. Atau.. jangan-jangan salah kirim?” tanya Alana.
“Sepertinya tidak mungkin salah kirim, Mbak. Soalnya orang yang pesan bunganya bilang sendiri kalau bunga ini memang untuk Mbak Alana. Dan alamatnya pun sudah benar.”
“Apa orang yang memesan bunganya tidak menyebutkan siapa namanya, Pak?” tanya Alana penasaran. Dan sayangnya si pengantar bunga menjawab dengan gelengan kepala.
“Tidak, Mbak. Orang itu hanya berpesan agar bunga dan paketnya sampai ke rumah tujuan dengan tepat waktu.”
Alana menatap buket bunga itu dengan kerutan di keningnya. Merasa aneh dengan siapa orang yang sudah mengirimkan bunga sebesar dan secantik ini ke rumah sewanya. Lagipula, tidak ada satu pun yang tahu dimana Alana tinggal selain Virny dan Danu. Alana juga tidak memiliki kenalan siapa pun lagi di Jakarta.
“Ya sudah. Terimakasih banyak Pak.”
Si pengantar bunga itu mengangguk dan pamit dari hadapan Alana. Lantas melesat pergi entah kemana dengan motornya.
“Buket bunga dari siapa?” Danu yang tiba-tiba muncul dari balik pintu membuat Alana sedikit terkejut.
“Aku juga tidak tahu. Tapi tidak ada nama pengirimnya di sini. Hanya ada ucapan selamat ulang tahun saja.” Alana menunjukan buketnya pada Danu.
Dan benar. Danu tak menemukan kartu atau apapun yang menunjukan identitas si pengirim. Tapi melihat betapa cantik bunga mawarnya, membuat segelintir perasaan cemburu menyelinap ke dalam hati Danu.
“Mungkin bunga ini dari orang yang special,” kata Danu dengan nada yang tak bersemangat sama sekali.
Sedangkan Alana yang membuka kotak satunya yang ternyata berisi cokelat, kini menatap Danu dengan gelengan kepala.
“Orang special siapa yang kamu maksud? Aku tidak merasa sedang dekat dengan siapapun, Danu. Ah, atau mungkin saja paket ini dari Virny! Dia juga biasanya sering memberiku cokelat kalau aku sedang ulang tahun.” Alana mencoba menduga-duga.
Ya. Virny adalah sahabatnya yang paling dekat. Virny sangat tahu jika Alana suka segala hal yang berbau cokelat dan manis. Maka tak menutup kemungkinan, jika Virny lah yang mengirimkan hadiah ini ke rumahnya.
“Kalau cokelat saja mungkin masuk diakal. Tapi apa temanmu itu juga suka mengirim buket bunga seperti ini? Jika dilihat dari seberapa mahal dan cantiknya bunga ini, entah mengapa aku bisa menyimpulkan jika yang mengirimnya adalah seorang lelaki.” Danu mengatakannya dengan senyum miris. Dan Alana langsung tergugu di tempatnya begitu mendengar ucapan Danu.
‘Benar juga apa yang Danu bilang. Virny memang suka memberi cokelat. Tapi Virny tidak pernah memberiku sebuah buket bunga. Apalagi buket bunga yang sebesar ini, pasti harganya mahal sekali.’ batin Alana jadi resah.
“Tapi.. sudahlah Alana. Nanti kamu bisa tanyakan sendiri sama teman kamu itu. Mungkin dugaan kamu yang benar.” Danu memberikan buket bunganya ke tangan Alana. Meski dalam hatinya masih merasa tersayat-sayat. “Ayo masuk! Tidak baik berdiri terus di luar,” lanjut Danu memaksakan senyumnya. Lantas ia masuk ke dalam rumah lebih dulu.
Alana menelan ludah memandangi buket bunga yang entah dari siapa itu. Batin Alana pun bertanya-tanya.
“Aku harus menelpon Virny. Untuk memastikan jika yang mengirim bunga dan cokelat ini adalah dia,” gumam Alana pelan.
Alana tak ingin membuat hatinya resah berlama-lama. Jadi ia harus segera menelpon Virny saat ini juga.
***
Sementara itu, di atas balkon kamarnya. Andra sedang duduk di kursi sambil kaki kananya naik ke atas kaki kiri. Tampak di telinganya menempel sebuah ponsel genggam.
Andra tengah berbicara dengan seseorang lewat telpon.
‘Selamat siang, Pak! Buket bunga dan cokelat yang Anda pesan sudah berhasil kami kirimkan ke tempat tujuan.’ ucap orang di seberang sana.
Andra langsung menyunggingkan senyum miring di wajahnya.
“Bagus. Terimakasih sudah memberitahuku.”
‘Sama-sama, Pak. Terimakasih juga karena sudah memesan di toko kami.’
TUT!
Setelah mematikan sambungan telponnya, Andra tersenyum penuh seringai. Lantas ia bangkit dari kursi dan melangkah menopang tangannya di pagar balkon. Netranya menatap lurus ke depan. Siang ini langit tampak cerah.
“Selamat ulang tahun mantan istriku tercinta. Bunga dan cokelat itu hanya kejutan kecil dariku. Aku yakin sekali, pasti saat ini kamu sedang bingung dan bertanya-tanya. Dengan siapa orang yang mengirimimu semua itu. Kamu tidak akan menyangka jika bunga dan cokelat itu adalah dariku,” ucap Andra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri CEO Tampan
Romance"Saya akan bantu lunasi biaya operasi Andra. Tapi dengan satu syarat," ucap wanita tua itu pada Alana. "Apa syaratnya, Ma?" "Tinggalkan Andra, dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya!" Demi kesembuhan Andra, Alana rela meninggalkan suaminya itu...