Karena Alana memang tak berada di sana. "Ini bukan aku, Alana! Sosok ini bukan diriku! Andra yang sebenarnya tidak seperti ini. Dulu aku masih menyukai warna dalam hidupku. Dulu aku masih memiliki senyum yang tulus dan lembut dalam diriku. Tapi sekarang, semua itu sudah kamu renggut. Kamu sudah merenggutnya tanpa perasaan," ucap Andra. Tapi kali ini sambil terkekeh pelan.
Andra tertawa. Namun tawa itu tak menyiratkan kebahagiaan sama sekali. Yang ada hanya nada getir yang mana akan membuat siapapun yang mendengarnya akan merasa kasihan.
"Kemana kamu membawa pergi diriku yang dulu, Alana? Hingga sekarang aku sudah berubah menjadi sosok Andra yang tak punya hati. Aku tak lagi bisa mengenal warna dalam hidupku. Hidupku sudah gelap. Sangat gelap. Dan kamu yang sudah mengubahnya," lirih Andra pelan-pelan memejamkan kelopak matanya. Membayangkan kembali saat-saat Alana meninggalkan selembar surat di atas ranjang kontrakan mereka.
Bayangan Andra pun kembali mengukir saat buku nikah mereka telah tercerai-berai dan sebuah surat cerai yang tergeletak begitu saja di atas tempat tidur.
"Andai kamu tahu sesuatu, Alana. Aku tak pernah menandatangani surat cerai itu. Tidak pernah," ucap Andra sambil membuka kembali kelopak matanya. Kali ini bibir Andra melengkungkan senyum tulus. Tak lagi segetir dan sekecut tadi.
"Ya. Aku tidak pernah menandatangani surat cerai itu. Entah kenapa tanganku berat untuk melakukannya. Entahlah, apa saat ini kita masih suami istri atau bukan. Tapi yang jelas, hatiku sudah terlanjur hancur karenamu. Aku ingin mencari kepuasan dengan membalas semua luka yang kamu buat. Aku baru akan berhenti setelah aku merasa puas melakukannya. Baru aku akan membiarkanmu pergi dengan lelaki mana pun yang kamu mau, Alana."
Andra mendesah dengan rasa lelah yang telah menderanya. Pandangannya yang berkunang-kunang kini perlahan mulai mengabur. Sambil tetap menyunggingkan senyum yang masih terpatri di wajah tampatnya, Andra memejamkan matanya rapat-rapat. Hingga akhirnya kegelapan mulai merenggut kesadarannya.
***
"Papa sudah sampai di kantor kamu! Jadi kamu jangan kemana-mana. Tetaplah di sana karena ada hal penting yang ingin Papa bicarakan!" suara Darma yang tegas membuat Alana menoleh kearah lift yang terbuka. Alana menarik napasnya saat melihat Darma ternyata baru saja keluar dari lift itu sambil menelpon seseorang yang Alana tebak adalah Andra.
"Kenapa kamu melihat saya? Kerja saja yang benar!" sentak Darma dengan wajah yang tak bersahabat sama sekali.
Alana terhenyak lalu mengangguk pelan. "Iya, Maaf Tuan Darma." Alana bangkit sebentar membungkukan badannya menyambut kedatangan Darma, lalu kembali duduk di kursinya.
Darma hanya memandangnya tak acuh, wajahnya yang keruh melemparkan tatapan penuh hinaan pada Alana.
"Ck! Wanita murahan!" cetus Darma sebelum kemudian masuk ke dalam ruang kerja Andra.
"Huft.. keluarga yang sempurna. Tidak istri, suami dan anak sama saja tingkahnya," gumam Alana sembari menghembuskan napas pelan setelah Darma menghilang dari pandangannya.
Sementara itu, di dalam ruang kerja Andra, Darma menarik kursi dan duduk di hadapan Andra yang terpaksa menghentikan pekerjaannya sejenak.
Ya. Andra tahu sekali, Darma paling tidak suka jika ia datang tapi Andra masih sibuk dengan setumpukan berkas dan computer hingga mengabaikannya.
"Kenapa, Pa? Hal penting apa yang hendak Papa bicarakan sama Andra?" tanya Andra to the point.
"Apa kamu tidak ingat, kalau tidak lama lagi kita akan mengadakan acara ulang tahun perusahaan?" Darma balik bertanya dan Andra hanya mengangguk enteng.
"Tentu saja aku ingat, Pa. Mana mungkin aku lupa."
"Papa ingin acaranya sangat meriah, Andra. Akan ada banyak kolega bisnis kita yang akan diundang. Mereka harus bisa melihat kalau perusahaan keluarga Wijaya selalu merayakan acara ulang tahun perusahaan dengan pesta yang tak main-main," pinta Darma dengan wajah jumawanya.
Ya. Khas Darma sekali. Yang tidak ingin dianggap remeh oleh para rekan bisnisnya yang lain. Darma selalu ingin terlihat paling sempurna di antara pebisnis yang lainnya. Dan Andra sudah sangat tahu dengan watak ayah kandungnya itu.
"Papa tenang saja. Aku pastikan acara ulang tahun perusahaan kita akan berlangsung dengan sangat meriah. Sesuai dengan apa yang Papa inginkan," sahut Andra meski nadanya terdengar biasa saja. Tak tampak antusias seperti Darma.
"Bagus. Bagus. Kamu memang satu-satunya putra keturunan Wijaya yang sangat meniru Papa, Andra. Papa bangga sekali sama kamu."
Andra menarik sebelah ujung bibirnya, membentuk senyum kecut setelah mendengar pujian yang dilontarkan oleh Darma.
'Heh! Mungkin Papa benar. Sifatku memang banyak meniru Papa. Tapi tidak soal sifat yang menjunjung tinggi harta. Aku bukan orang yang haus dengan harta dan kekuasaan seperti Papa,' gumam Andra dalam hatinya.
"Apa Papa mau kopi? Biar aku pesankan pada OB," tawar Andra pada Darma.
"OB? Untuk apa pesan kopi saja harus repot-repot memanggil OB? Lalu apa tugasnya sekretarismu itu, Ndra? Apa kamu hanya menyuruh dia duduk saja seperti orang bodoh?!" tanya Darma dengan nada mengejek. Tentu saja ejekan itu untuk Alana.
Andra menarik napasnya pelan. "Alana juga memiliki pekerjaannya sendiri, Pa."
"Tapi Papa tidak mau kopi jika kamu menyuruh OB yang membuatkannya!" tegas Darma. "Suruh sekretaris kamu saja yang buat! Tapi ingat, kopinya harus sesuai dengan takaran yang biasa Papa minum. Papa ingin lihat, seberapa becusnya dia bekerja di kantor kamu!" lanjut Darma yang membuat Andra memijit kepalanya.
Mau tak mau Andra harus melakukan apa yang Darma inginkan. Maka tangan Andra meraih gagang telpon dan menghubungi Alana.
"Buatkan kopi untuk Papaku. Dan jangan terlalu banyak gula. Antarkan kopinya ke ruanganku secepatnya Alana!" perintah Andra pada Alana dari seberang telpon.
Senyum culas terpatri di wajah Darma yang tak lagi muda.
Andra lalu langsung menutup sambungan telponnya tanpa menunggu sahutan dari Alana.
Cukup lama mereka terdiam, hingga kemudian suara ketukan pintu terdengar tiga kali. Andra dan Darma tak perlu menoleh lagi karena mereka sudah tahu siapa yang datang. Sudah pasti Alana.
"Masuk!" suara baritone milik Andra memecah di penjuru ruangan. Namun terdengar di telinga Alana, hingga Alana masuk dan berusaha sesantai mungkin membawa kopi milik Darma ke meja kerja Andra.
"Oh iya, Andra. Papa lupa mengatakan sesuatu, di acara pesta ulang tahun perusahaan kita nanti, Tuan Arwen juga akan datang. Dia ingin pesta itu menjadi saksi pertunangan antara kamu dan Sherly. Kamu harus mengenalkan Sherly sebagai calon istri kamu di hadapan semua tamu dan kolega bisnis kita," kata Darma tiba-tiba.
Membuat Andra sekaligus Alana yang ada di sana juga ikut terkejut mendengarnya. Andra menatap Darma dengan mata yang menyipit, sementara Alana hanya bisa menelan salivanya dengan kasar.
'Andra akan bertunangan dengan Sherly, tepat di acara ulang tahun perusahaan nanti? Ya Tuhan. Apa hatiku akan sanggup melihatnya, sementara aku pun harus menghadiri pesta itu karena aku adalah sekretaris Andra.' batin Alana mendesah resah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri CEO Tampan
Romance"Saya akan bantu lunasi biaya operasi Andra. Tapi dengan satu syarat," ucap wanita tua itu pada Alana. "Apa syaratnya, Ma?" "Tinggalkan Andra, dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya!" Demi kesembuhan Andra, Alana rela meninggalkan suaminya itu...