Hancurku Buatmu Bahagia

2.6K 74 0
                                    

Danu memang sudah terbiasa bercanda seperti ini. Membahas tentang cintanya yang sudah beberapa kali ditolak oleh Alana. Meski Alana tahu betul di dalam hatinya Danu pasti merasa sakit. Tapi Alana bisa apa. Alana tidak mau menikah dengan Danu tanpa dilandasi dengan cinta.

“Oh iya. Bagaimana dengan pekerjaanmu di kantor tadi? Apa sangat melelahkan?” tanya Danu setelah mereka terdiam beberapa saat. Kini Danu berusaha memecahkan keheningan.

Alana menggeleng. “Tidak terlalu. Apalagi hari ini kami tidak lembur. Jadi tidak terasa melelahkan.”

Danu manggut-manggut. Kini ia mengubah posisi duduknya agar miring menghadap Alana, Danu menopang sebelah sikunya di kepala kursi. Maka wajah Alana yang begitu cantik terpampang jelas di depan matanya.

“Dan soal boss mu. Sepertinya kamu belum pernah cerita tentang boss mu di kantor itu ‘kan Alana? Bagaimana rupa boss mu itu? Apa dia sangat tampan, tinggi, arogan dan dingin seperti yang ada di novel-novel yang sering dibaca oleh ibuku?” Danu bertanya sambil terkekeh.

Tapi pertanyaan itu justru mampu membuat senyum di wajah Alana luntur seketika. Tiba-tiba saja Alana teringat dengan Andra.  

Melihat Alana yang hanya diam dan melamun, Danu mengerutkan keningnya lantas menjetikan jarinya di depan wajah Alana.

“Hey! Kenapa malah melamun, Alana? Aku sedang bertanya.”   

Alana mengerjap kemudian tersenyum canggung. “Eh, maaf.”

“Jadi seperti apa rupanya?”

“Rupa siapa?” tanya Alana berpura-pura tidak tahu. 

“Bossmu itu. Semoga saja dia tidak tampan ya. Aku bisa cemburu nanti,” kekeh Danu lagi mencoba bercanda. Padahal dalam hatinya tak rela.

“Tidak. Dia tidak seperti yang ada di novel-novel. Dia tidak seperti yang kamu bayangkan, Danu. Bossku tidak seperti itu,” ucap Alana akhirnya. Tapi alis Danu langsung terangkat sebelah. Entah mengapa sekarang Danu malah jadi penasaran dengan rupa boss Alana.

“Memangnya dia seperti apa?” tanya Danu yang merasa tak puas dengan jawaban Alana barusan.

Alana menelan ludahnya kasar. Jemarinya saling meremas di atas paha. 

‘Ya Tuhan. Kenapa Danu terus saja bertanya tentang Andra? Padahal aku sedang tidak ingin membahas Andra sekarang ini,’ desah Alana dalam batinnya.  

Tak lama kemudian, suara cempreng milik Rehan membuat kepala mereka tertoleh kearah pintu kamar bocah itu.

“Ayah! Mama! Kalian lagi apa? Kok gak ngajak-ngajak Rehan?” seru Rehan yang langsung merengsek masuk ke pelukan—Danu. Dengan senang hati Danu mendekapnya erat, lalu mendudukan Rehan di atas pangkuannya.  

Seketika itu Alana menarik napas lega karena jika ada Rehan, Danu pasti tak akan lagi membahas soal boss nya di kantor.

“Hey, Boss kecil. Kenapa belum tidur?” tanya Danu mencubit gemas pipi kiri Rehan.

“Aku belum benar-benar ngantuk, Yah. Tadi aku sedang tidur ayam. Terus dengar suara Ayah sama Mama jadi aku keluar deh,” sahut Rehan dengan enteng.

Alana dan Danu menggeleng mendengarnya.

“Rehan tahu ‘kan besok sekolah?” tanya Alana dan Rehan mengangguk kecil. 

“Iya Ma.”

“Berarti Rehan harus tidur cepat. Tidak boleh tidur larut malam. Nanti bisa-bisa di sekolah Rehan akan mengantuk saat guru sedang menerangkan pelajaran,” ucap Alana mengingatkan. Membuat Rehan menggigit bibirnya dan mendongkak menatap Danu. Meminta pembelaan dari lelaki yang ia sebut dengan nama Ayah itu.

“Tidak ada bantahan. Pokoknya Rehan harus nurut apa kata Mama Alana. Sekarang Rehan pergi ke kamar lagi dan tidur ya!” suruh Danu. Bibir Rehan kini telah mengerucut. Padahal tadinya Rehan hanya ingin berbincang-bincang hangat bertiga bersama Danu dan Alana.

Rehan pikir, kapan lagi mereka akan kumpul bersama disaat Danu sibuk bekerja sebagai dokter di jogja. 

“Iya deh. Tapi Rehan boleh minta sesuatu ‘kan Ma. Mumpung besok Ayah masih ada bersama kita di sini.” Rehan memasang wajah memelas pada Alana. Kedua alis Alana bertaut balas menatap Rehan penasaran.

“Mau minta apa?”

“Besok malam kita nonton bioskop sama-sama yuk, Ma, Yah. Kan Ayah jarang sekali ada di rumah. Rehan pengen deh, kayak temen-temen yang nonton bioskop bareng sama orang tuanya. Pasti seru,” ucap Rehan dengan menampilkan senyum penuh harapnya pada Alana dan Danu.

Seketika Danu dan Alana membisu. Alana menghembuskan napas pelan, enggan menatap wajah Rehan yang sedang memasang tatapan memohon padanya. 

‘Teman-temanmu itu, mereka semua memiliki keluarga yang utuh, Rehan. Sedangkan kamu, Ayah Danu bukan siapa-siapa kita. Dia hanya seorang lelaki baik yang bersedia kamu panggil dengan sebutan Ayah.’ batin Alana mendesah lemah. Tidak tahu harus berbuat apa atas permintaan anaknya.

“Kenapa tidak? Kita juga bisa kok seperti teman-teman kamu yang lain, kita bisa pergi ke bioskop dan menonton film bersama!” seruan Danu sontak membuat kepala Alana tertoleh kearahnya. Dan mata Alana melebar menatap Danu. Tapi Alana menangkap satu kedipan yang Danu berikan padanya.

“Yang benar, Yah?” tanya Rehan dengan antusias. Wajahnya begitu ceria lebih lagi ketika Danu menganggukan kepala dengan yakin.

“Iya, dong. Kita akan nonton besok malam. Rehan maunya nonton film apa?” tanya Danu mengeratkan pelukannya pada tubuh Rehan yang masih duduk di atas pahanya.

“Rehan mau nonton film kartun, Yah. Yang terbaru itu!”

“Oke. Besok malam kita akan nonton film kartun kesukaan kamu. Iya ‘kan Mama Alana?” tanya Danu melemparkan tatapan penuh senyum pada Alana. 

Alana sendiri yang merasa terenyuh dengan perhatian Danu pada Rehan, kini mengerjap dan mengangguk pelan.

“Iya. Besok kita akan nonton,” sahut Alana. Seketika Rehan bersorak makin senang.

“Yeay! Makasih Mama! Makasih Ayah! Rehan sayaaang banget sama kalian berdua!” seru Rehan yang kedua tangannya memeluk leher Alana dan leher Danu di kedua sisi. Membuat kepala mereka saling bersentuhan. Bibir Danu tak bisa berhenti mengukir senyum. Danu merasa seperti ia telah mendapatkan sebuah keluarga yang utuh miliknya sendiri. 

Meskipun pada kenyataannya Alana belum bisa membuka hatinya untuk Danu.

***

Di dalam kamarnya, Andra terbaring di atas ranjangnya yang berbalut sprei warna putih. Botol minuman bekasnya berserakan di lantai. Andra baru saja meneguk habis minuman-minuman itu. Lantas membiarkan tubuhnya ambruk di atas ranjang, dengan pandangan yang berkunang-kunang.

“Aku begini karena kamu, Alana! Hidupku sudah berubah karena kamu! Kamu yang membuatku jadi pecandu—minuman dan rokok! Karena pada dua benda itu lah aku lari saat pikiranku mulai kacau setelah kamu pergi meninggalkanku!” Andra bergumam sendiri. Menatap nanar pada langit-langit kamarnya yang mulai mengabur. 

Setetes air menggelayut di sudut mata Andra. Namun bibirnya masih menyunggingkan sebuah senyum kecut.

“Apa kamu merasa bahagia melihat kehancuranku sekarang, Alana? Apa kamu senang melihat aku telah berubah menjadi sosok Andra yang lain?” tanya Andra merintih dalam kebisuan. Tak ada suara apapun yang dapat menjawab pertanyaannya. 

Mantan Istri CEO TampanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang