Andra mengulum senyum kecewa, tapi ia mengacak pelan rambut Rehan dengan senyum hangat.
"Loh, Ndra! Kamu lagi ngapain? Ini anak siapa? Kamu kenal sama dia?" Sherly yang baru saja datang setelah mengantar Evelyn dari kamar kecil, kini menghampiri Andra dengan kening yang berkerut heran. Kini Evelyn sudah masuk ke dalam kelasnya. Tapi wajah Sherly masih penasaran.
Pasalnya Sherly melihat Andra yang sedang berjongkok di depan seorang bocah lelaki. Mereka tampak mengobrol dengan sangat akrab. Padahal, jika diperhatikan dengan seksama, penampilan bocah itu sungguh membuat mata Sherly sakit. Tampak begitu kampungan dan kumal.
"Ini Rehan. Aku pernah bertemu dengannya sebelumnya," jawab Andra sambil bangkit dan kembali berdiri dengan tegap.
Wajah Sherly langsung meringis, bibirnya mencibir.
"Kamu kenal sama anak yang bajunya aja lusuh kayak gini, sayang? Ngapain kamu buang-buang waktu bicara sok akrab sama dia? Memangnya kamu tidak jijik?" cetus Sherly seenaknya. Membuat wajah Andra langsung berubah marah.
"Sherly! Jaga ucapan kamu!" Andra mulai meninggikan nada suaranya.
"Loh, kenapa? Aku berkata sesuai kenyataan 'kan? Bajunya memang lusuh, kumal, dan sudah tak layak dipakai. Terus penampilan anak itu juga kampungan. Aku heran, kenapa kamu mau membuang-buang waktu dengan berbicara sama dia. Tidak penting, Ndra! Lebih baik ayo kita berangkat ke kantor kamu sekarang. Aku sudah lapar ingin sarapan bareng kamu!" ajak Sherly. Tapi Andra menepis tangan Sherly yang menyentuh lengan kekarnya.
Enggan disentuh oleh wanita itu setelah mendengar ocehannya yang keterlaluan terhadap Rehan.
"Kamu benar-benar tidak tahu cara menjaga mulut!" ketus Andra melemparkan tatapan tajamnya kearah Sherly.
Sherly hendak membuka mulutnya untuk kembali membela diri, saat suara Rehan terdengar di telinganya.
"Om, Tante ini siapa? Teman Om ya? Kok mulutnya seperti mak lampir," celetuk Rehan yang sontak saja membuat Sherly membolakan matanya lebar-lebar. Sementara Andra menahan tawa dengan mengepalkan tangannya di depan mulut.
"Apa kamu bilang? Dasar bocah kampungan!" Sherly hendak mencubit Rehan, tapi dengan gerakan cepat Rehan langsung melarikan diri dan berlari menuju kelasnya.
"Heh! Anak kurang ajar! Beraninya dia mengataiku seperti Mak Lampir!"
"Sherly! Hentikan. Jangan membuat keributan di depan sekolah. Apa kamu tidak malu dilihat oleh orang lain!" sentak Andra memberi peringatan. Membuat bibir Sherly akhirnya terpaksa bungkam juga. Sebab saat ia mengedarkan pandangannya, dilihatnya ada dua orang guru yang sepertinya baru saja hendak masuk ke dalam kantor. Dan hanya menggeleng-gelengkan kepala ketika mendengar Sherly mengumpat dengan keras.
'Argh.. siapa sih bocah lelaki itu? Kalau saja aku tidak ingat dengan rasa maluku, dan kalau saja aku tidak takut Andra akan meninggalkanku sendirian lagi seperti di mall semalam. Bocah itu sudah habis di tanganku!' ucap Sherly dengan kesal di dalam batinnya.
"Ayo cepat! Aku mau berangkat sekarang. Apa kamu hanya mau berdiri saja di sana seperti patung!" tegur Andra dengan nada dinginnya. Sherly menghentakkan kakinya masih merasa kesal. Tapi ia tak urung mengikuti langkah Andra dari belakang dan masuk ke dalam mobil lelaki itu.
***
"Hallo, Iya Pak Andra?" Alana mengangkat telpon dari Andra yang menghubungi Alana dari ruang kerjanya.
Ya. Andra dan Sherly sudah tiba di kantor setengah jam yang lalu. Dan sepertinya saat ini mereka tengah sarapan bersama di dalam ruangan Andra. Karena tadi Alana melihat OB yang mengantarkan beberapa dus makanan yang Andra pesan dari restoran yang tak jauh dari kantor.
'Alana! Antarkan berkas-berkas penting yang harus ku cek dan tandatangani. Sekarang!' pinta Andra kemudian menutup telponnya begitu saja.
Alana hanya bisa membuang napas pelan. Terbesit rasa ragu di dalam hatinya.
"Semoga saja di dalam sana, Andra dan Sherly tidak sedang melakukan sesuatu yang tidak ingin ku lihat," gumam Alana pelan. Kemudian ia meraih berkas yang Andra minta di atas meja kerjanya. Dan kakinya berjalan pelan menuju ruangan Andra.
Sementara itu, di ruang kerja Andra, Sherly tampak memaksa lelaki itu untuk menerima suapan darinya. Padahal Andra sendiri tengah sibuk berkutat dengan laptopnya di atas meja. Meskipun saat ini Andra dan Sherly sedang duduk di sofa panjang sambil makanan berserakan di hadapan mereka.
"Ayo, Ndra! Makan dulu. Biar aku suapin. Tangan kamu pasti sibuk bekerja, jadi biar aku saja yang menyuapi kamu. Kamu 'kan butuh tenaga," bujuk Sherly yang sebenarnya lebih seperti memaksa. Berulang kali Sherly menyodorkan sendoknya ke mulut Andra.
"Aku bisa makan sendiri jika aku ingin, Sherly. Berhenti melakukan ini dan habiskan saja sarapanmu dengan cepat!" tekan Andra.
Sherly mengerucutkan bibirnya. "Kenapa sih kamu gak bisa romantis, sayang? Padahal aku cuma mau suapin kamu."
Tok! Tok! Tok!
Terdengar suara ketukan pintu dari luar. Dan Andra sudah tahu itu pasti Alana yang tadi ia suruh membawa berkas ke ruangannya lewat telpon.
"Masuk!" suruh Andra tanpa menoleh lagi kearah pintu. Matanya tetap fokus pada layar laptop yang ada di hadapannya.
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan saat itu dalam hitungan detik Sherly menarik rahang Andra dengan cepat, lalu meraup bibir Andra sambil melinngkarkan kedua tangannya di leher lelaki itu.
Tentu saja pemandangan itu membuat Alana yang baru saja datang kini tercenung di tempatnya berdiri, berkas yang ia pegang sampai jatuh ke lantai. Sementara sebuah tangan tak kasat mata seperti tengah meremas ulu hatinya dengan keras.
"Ekhem, permisi Pak Andra!" ucap Alana sambil menunduk. Enggan menatap pada pemandangan yang menyakitkan di depan sana.
Mendengar suara Alana, segera saja Andra menjauhkan wajah Sherly dari wajahnya. Dan kini Andra mengalihkan matanya pada Alana yang masih berdiri kaku di ambang pintu.
"Maaf mengganggu kalian. Tapi aku ke sini hanya ingin mengantarkan berkas yang Pak Andra minta. Berkasnya aku taruh di atas meja saja ya, Pak." Alana berkata lalu meletakan berkas di tangannya ke atas meja kerja Andra. Lalu tanpa sepatah katapun, Alana pergi begitu saja setelah pamit pada bossnya itu.
KLEK!
Pintu kembali tertutup. Dan entah kenapa jantung Andra yang terasa sakit sekarang. Tadi Andra melihat tatapan sendu di wajah Alana saat memergokinya berciuman-dengan Sherly.
Ya. Sherly. Mengingat itu, secepat kilat Andra menoleh pada Sherly dan memberinya tatapan yang begitu tajam.
"Siapa yang menyuruhmu menciumku?" sentak Andra dengan rahangnya yang mengeras.
Sherly hanya tersenyum tanpa dosa sembari mengangkat kedua pundaknya enteng.
"Kenapa kamu marah sayang? Aku 'kan calon istrimu. Jadi aku bebas mau menciumi bibirmu kapan saja dan di mana saja."
Andra meremas kedua tangannya di atas paha. Menahan diri agar tak menumpahkan emosinya atas sikap Sherly yang benar-benar tak disukainya.
"Berhenti mengatakan hal itu! Dan sekarang juga cepat habiskan sarapanmu dan segera tinggalkan ruanganku! Karena sebentar lagi aku ada meeting mingguan. Dan aku tidak ingin diganggu oleh siapapun termasuk olehmu!" tegas Andra mendelik tajam. Kemudian berdiri sembari membawa laptopnya dan berjalan menuju kursi kerjanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri CEO Tampan
عاطفية"Saya akan bantu lunasi biaya operasi Andra. Tapi dengan satu syarat," ucap wanita tua itu pada Alana. "Apa syaratnya, Ma?" "Tinggalkan Andra, dan pergi sejauh mungkin dari kehidupannya!" Demi kesembuhan Andra, Alana rela meninggalkan suaminya itu...