Two

115 34 68
                                    

Bercanda. Profesor Raymond pasti bercanda.

Rhea berdiri di depan pintu ruangan profesor Raymond dengan perasaan berkecamuk. Pasalnya, meski ia sangat ingin menghadap dan menanyakan perihal dirinya yang masuk ke dalam tim tanpa mengirim proposal, bagian dirinya yang lain ragu untuk langsung menemui sang profesor mengingat karakter pria berkepala enam itu yang terkenal keras.

Keningnya berkerut samar, memainkan jemari gugup. Kau hanya perlu mengetuk pintu, Rhea. Profesor ada di ruangannya.

Tidak sulit untuk menemui para dosen karena kebijakan open door yang ditetapkan oleh departemen mereka mengizinkan para mahasiswa untuk langsung menemui staff pengajar jika mereka menghadapi masalah di kelas atau sekadar ingin berdiskusi. Kebijakan yang sangat praktis, menurut Rhea.

Ia bisa mendengar suara sesuatu diketuk di atas meja kayu, menandakan bahwa profesor yang menaungi penelitiannya itu berada di ruangan. Memejamkan mata untuk mengumpulkan keberanian dan menghalau sensasi mulas di perut, jantungnya nyaris melonjak ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang.

"Kau belum masuk?" Rhea memutar kepala cepat ke arah sumber suara, menatap tajam Genevieve yang mengangkat kedua tangan seolah mengaku bersalah. "Kelas selanjutnya akan dimulai, lho."

Rhea meringis. "Butuh keberanian besar untuk bertemu dengan profesor Raymond, tahu."

Genevieve terkikik, menyandarkan bahu pada sisi tubuhnya. "Segitunya tidak ingin berada di tim beliau?"

Rhea membekap mulut Genevieve, lalu mendesis. "Jangan keras-keras, Gen. Kita berada di depan ruangannya!"

"Maaf, maaf," kekeh Genevieve tertahan. Gadis itu menepuk tangan Rhea, isyarat untuk menurunkan tangan. "Tapi aku tidak bercanda. Kau harus segera menemui beliau hari ini atau kau bisa menyimpan protesmu sampai minggu depan. Dan minggu depan sudah terlalu terlambat untuk mengganti tim."

Sebelah alis Rhea terangkat penuh tanda tanya.

"Profesor Raymond akan ikut kunjungan ke luar kota bersama dengan beberapa dosen dari universitas lain, ingat? Beliau dan Lucien sudah mengatakannya minggu lalu," desah Genevieve frustrasi. Ia mendorong punggung Rhea, mengabaikan ringisan protes sang hawa. "Sudah sana masuk. Kutunggu di lobi."

Sebelum Rhea mampu membalas, Genevieve sudah berjalan meninggalkannya seraya melambaikan tangan. Rhea mengerang kesal, memandangi punggung Genevieve yang perlahan menjauh dan hilang di balik tikungan koridor. Tatapannya beralih pada pintu jati yang bertuliskan nama lengkap Profesor Raymond. Ia bersumpah perasaan gugup yang bersarang di perut hampir menelannya hidup-hidup.

"Persetan," decaknya seraya mengetuk pintu, menarik napas panjang untuk menetralkan perasaan mulas. "Harus diselesaikan hari ini. Kemungkinan paling buruk, aku akan terjebak dalam timnya."

Ketukan menggema singkat. Samar-samar, Rhea mendengar derit kursi hidrolik dan alat tulis yang diletakkan di meja kayu sebelum muncul suara dengan nada berat yang terdengar ringkih dari dalam. "Masuk."

Rhea melangkah masuk dengan ragu, masih dengan perasaan gugup yang membuat lidahnya kelu. Ini adalah kali pertama ia menghadap langsung pada profesor Raymond dan berada di ruangan sang dosen.

Matanya memindai sekeliling. Ada beberapa piagam yang digantung di dinding beserta dengan bingkai foto bersama dengan barisan mahasiswa, mungkin saat mereka seminar dan kunjungan ke industri. Ruangan yang dicat biru langit itu sekilas membantu Rhea untuk menarik napas lebih dalam. Pandangannya bergulir pada furnitur di depan mata. Ada dua meja kayu yang tersedia di ruangan kurang-lebih empat meter itu. Salah satu meja digunakan untuk bertemu dengan tamu yang dikelilingi dua sofa panjang berwarna abu-abu. Meja lainnya menjadi meja kerja profesor Raymond dengan setumpuk dokumen, buku-buku dan tempat alat tulis di atasnya, serta dua kursi berlengan berwarna cokelat di depan meja.

The Painter and The ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang