"Re!" Rhea menoleh pada sumber suara, menemukan sosok berperawakan tinggi dengan rambut pirang kecokelatan ikal di antara banyaknya manusia yang keluar dari kereta. "Oh, astaga! Aku merindukanmu!"
Rhea memasrahkan diri dalam pelukan Adrian, terbiasa mendapatkan pelukan panjang dari sang pria. "Dasar keras kepala. Harusnya kujemput saja di bandara."
"Tidak perlu," gumam Adrian di puncak kepala Rhea. "Kau baru kembali dari Edinburgh kemarin, kan? Nanti kelelahan."
Rhea menarik diri, menatap Adrian dengan sebelah alis terangkat. "Sejak kapan kau peduli apakah aku lelah atau tidak? Kalau lupa, kau yang sering menyeretku ke berbagai pertunjukkan karena kau tidak ingin pergi sendirian."
Adrian tergelak rendah. "Dasar pendendam."
Tepat setelah Rhea merebahkan tubuh di kamarnya kemarin malam, Adrian mengirim pesan bahwa ia akan berkunjung ke Leicester karena ada tawaran di West End dua bulan lagi. Adrian juga memberitahu kalau pesawatnya akan sampai di siang hari, membuat Rhea menghela napas lega karena bisa tidur lebih lama. Kegiatannya selama dan sesudah dari Edinburgh sangat menguras tenaga baik fisik maupun mental, hingga sesampainya ia di asrama Rhea tidak berminat untuk melakukan apapun. Ia bahkan malas untuk membongkar tas inapnya.
Berduaan bersama Lucien dalam waktu yang lama ternyata tidak baik untuk kesehatan batinnya.
"Jadi, mau ke mana kita hari ini?" Adrian menggamit tangan Rhea ringan, seolah-olah berjalan sambil bergandengan adalah hal yang alami untuknya. "Tunggu. Kau tidak harus pergi ke kampus, kan? Karena kalau iya, aku akan mati kebosanan."
Rhea terkekeh. "Tidak. Asisten dosenku memberi libur sebagai kompensasi. Tidak ada kuliah juga hari ini."
"Menjadi mahasiswi tahun terakhir ternyata sangat luang, ya?" Adrian mengerling jahil. Ia terkekeh saat Rhea mendelik tajam. "Simpan cakarmu, Singa Betina. Aku tahu kau tertekan dengan penelitianmu yang luar biasa rumit itu. Aku takkan sanggup."
"Karena itulah kau memilih menjadi aktor dan tidak lanjut kuliah, Tuan Bintang."
"Mulutmu setajam biasanya," ringis Adrian. "Tapi aku serius. Ke mana kita hari ini? Kalau kau akan membawaku pergi jauh, aku akan menaruh koperku di hotel dulu."
Rhea tercenung. "Kau mau pergi ke mana?"
"Ke manapun asal bersama dengan gadis nomor satuku." Adrian menyeringai lebar, mengedipkan sebelah mata genit pada Rhea yang menghela napas lelah. "Reaksimu sangat mengecewakan. Harusnya kau berteriak antusias, tahu."
"Oh! Astaga! Adrian Innes menyebutku gadis nomor satunya! Jantungku!" Rhea berpura-pura menjerit dengan ekspresi datar, sudah terbiasa dengan sifat perayu dan berlebihan Adrian hingga tidak terpengaruh dengan ketampanan sang pria. "Begitu maksudmu?"
"Tinggal di Leicester seorang diri membuatmu sedingin es, ternyata," dengus Adrian. Namun, seringai lebar pria itu masih terpatri. Ia cukup senang berjumpa langsung dengan Rhea, yakin tidak ada yang bisa mengubah suasana hatinya.
Memenuhi permintaan Adrian, Rhea mengajak sang bintang berjalan-jalan. Tujuan mereka jatuh pada city centre Leicester yang terkenal sebagai pusat perbelanjaan dengan jajaran toko baju dan kafe di sepanjang jalan.
Aksen batu bata merah masih kental pada bangunan-bangunan di city centre, memberi kesan arsitektur lama dengan gedung yang tinggi dan megah. Beberapa titik di kota memang telah dimodernisasi, terutama pada tempat yang sering dikunjungi oleh turis. Namun, beberapa sudut kota masih mempertahankan arsitektur tudor—arsitektur Inggris lama, seperti menara jam di alun-alun, rumah kastil dan katedral tempat peristirahatan terakhir Raja Richard III. Bahkan ketika melewati tengah kota, mereka melihat patung John Henry Manner yang dikerubungi dengan pengunjung, berusaha mengambil foto.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and The Butterfly
Roman d'amourRhea Crawford hanya ingin lulus tepat waktu. Ia muak dengan rongrongan sang bibi yang bertanya 'kapan lulus?' dan cacian lain. Namun, atas rekomendasi dari si asisten dosen, Lucien Chen, ia malah terjebak dalam tim paling rumit dengan presentasi kel...