Twenty

22 13 13
                                    

Rhea mengembuskan napas gemetar, mengutuk kebodohannya karena mengabaikan peringatan Adrian tentang prakiraan cuaca sore ini. Ia bersikukuh bahwa perkiraan cuaca tidak sepenuhnya benar lalu memilih untuk berjalan-jalan di kota tanpa memakai jaket. Betapa salah perkiraannya.

Ia mendongak, menatap langit musim dingin yang tampak cerah. Di beberapa titik di kota ada jejeran pohon yang berdiri tegak tanpa daun, menandakan musim gugur telah berakhir. Aroma manis dari minuman hangat dan camilan yang tersaji di kafe terdekat, juga penjaja makanan menguar lembut menyapa indra penciumannya.

Ponselnya berbunyi kala ia tengah mengamati keramaian. Bibirnya mengulas senyum tipis menyadari siapa yang mengirim pesan. Lucien.

Nikmati hari liburmu. Kudengar mereka sudah memamerkan pohon natal di tengah kota.

Rhea mendengus kecil, mengeluarkan uap putih dari bibir dan hidung. Jangan makan malam dengan mi instan. Nanti akan kupesankan layanan pesan-antar. Ingat jam tidurmu, Senior Lucien!

"Bicara dengan siapa?"

Ia berjengit saat sosok Adrian mendadak muncul di hadapannya. "Lucien. Ia bilang pohon natal sudah didirikan di tengah kota."

Keningnya mengerut samar kala pria berambut ikal itu menyodorkan gelas stereofoam yang masih mengepul. Namun sebelum ia mampu meraih gelas miliknya, Adrian lebih dulu melilitkan syal di leher.

"Kenapa diberikan padaku?" suara Rhea tertahan oleh syal yang menutupi mulutnya. "Kau akan kedinginan."

"Tidak seperti seseorang, aku masih punya cukup akal sehat untuk mengenakan sweater tebal dan sarung tangan." Adrian meraih tangan Rhea, meniupkan udara hangat pada jemari yang gemetar. "Kita tidak ingin gadis nomor satuku membeku, kan?"

Rhea mendengus kecil, mengabaikan Adrian yang menyeringai lebar. Pria itu masih gemar memanggilnya dengan sebutan 'gadis nomor satu'. Tidak sampai hati menolak sorot mata memelas yang berkaca-kaca—teknik yang Rhea yakini berhasil dikuasai Adrian berkat kelas aktingnya—Rhea membiarkan sang pria tetap memanggilnya demikian.

"Jadi, apa saja yang kau lakukan selama aku sibuk di lab?" tanya Rhea seraya menyejajarkan langkah dengan Adrian.

Adrian melirik sang hawa, menyeringai lebar. "Karena kau sibuk berkencan dengan si asisten dosen, aku harus menghibur diriku sendiri. Jalan-jalan bersama temanku atau mengeksplor kota seorang diri. Aku bahkan sempat berperan sebagai pahlawan saat menolong gadis manis yang hampir dirampok."

Sebelah alis Rhea terangkat, familiar dengan cerita ini. "Oh ya? Dan bagaimana cara Tuan Bintang ini memerankan seorang pahlawan?"

"Dengan menegur si pencuri dan melindungi gadis manis itu, tentu saja." Adrian membusungkan dada bangga, memancing gelak tawa Rhea. "Setelah pencuri itu diamankan, si gadis manis bersikeras untuk membelikan kopi dan akhirnya kami mengobrol. Lumayan mengobati kesepianku yang ditinggal gadis favoritku."

Rhea mendecak, mengabaikan cibiran sang pria. "Si gadis manis tidak memiliki nama? Kau menyebutnya begitu terus."

"Ada." seringai Adrian perlahan mengembang, seolah pikirannya melayang pada momen pertemuannya dengan si gadis manis. "Tapi tidak akan kukatakan padamu. Nanti kau akan mencari tahu semua media sosialnya dan menyeleksi si gadis manis seperti zaman SMA dulu."

Rhea terkesiap, memukul lengan Adrian saat sang pria mengungkit kembali masa lalu mereka.

Dulu, sisi protektif Rhea mendorong sang hawa untuk mengecek latar belakang tiap gadis yang dikencani oleh Adrian. Mungkin karena rasa suka, mungkin juga lantaran tak ingin Adrian terlibat drama picisan yang sering diputar di film romansa. Namun, kebiasaan Rhea beberapa kali menyelamatkan Adrian dari tinju para pria yang merasa gadisnya 'direbut'.

The Painter and The ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang