Twenty Nine

24 0 0
                                    

"Kau bilang apa?"

Jika makan malamnya tidak bersikeras untuk naik ke tenggorokan lantaran gugup, mungkin Rhea akan tertawa menyaksikan bagaimana mata Lucien perlahan membola. Pria yang senantiasa tampak tenang dan kalem di berbagai kesempatan kini lebih terbuka dengan reaksinya.

Sudut hati Rhea membuncah mengetahui ialah alasan Lucien kehilangan kendali.

"Pilihlah aku. Aku tidak akan mengkhianatimu." Pengakuannya terucap dengan nada berbisik, tetapi determinasi tetap tersisip dalam tiap penggalan katanya.

Rhea butuh Lucien tahu kalau ia serius dengan ucapannya. Ia butuh Lucien tahu bahwa ia bersungguh-sungguh pada tiap kata yang ia embuskan. Ia butuh Lucien tahu, seberapa besar perasaan yang tumbuh dalam dirinya untuk sang pria. Terlalu besar untuk kehilangan sosok itu selamanya hingga gagasan bahwa ia takkan pernah melihat Lucien lagi nyaris menenggelamkannya dalam lautan nelangsa.

Lucien mengulum seringai, meremas lembut tangan Rhea dalam genggamannya. "Berniat mencuri kalimatku, hm?"

Rhea menggeleng pelan. Bukan itu yang ingin ia dengar. Sebelah tangannya terjulur untuk mengusap bibir bawah Lucien, menangkup sisi wajah sang pria. "Lucien Chen, pilihlah aku. Aku tidak akan pernah mengkhianatimu."

Lucien menghela napas gemetar. Pria itu menggenggam tangan Rhea yang membingkai rupa. Lucien memejamkan mata, menoleh sedikit lalu mengecup lamat telapak tangan Rhea seakan berusaha menyalurkan ratusan rasa yang tak tergambar oleh kata.

Darah Rhea berdesir saat bibir Lucien menjejaki tangannya lembut, terus bergeser hingga mencapai pergelangan tangan. Saat Lucien membuka mata, Rhea bersumpah jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik dan ia tidak bernapas. Ia seolah terjerat dalam netra violet Lucien yang berkabut oleh sekelumit emosi.

"Sejak awal, hanya ada dirimu, little butterfly," aku Lucien dengan suara rendah. "Aku bersumpah, sejak awal hanya kau atau tidak sama sekali."

Untuk sesaat, dunia seolah memudar. Meninggalkannya dan Lucien sebagai dua entitas terakhir di muka bumi. Waktu seakan berhenti berputar, berharap bahwa selamanya mampu mengabadikan debaran rasa di dada. Rhea terkesiap kala Lucien membelai keningnya dengan bibir. Matanya perlahan terpejam saat ibu jari Lucien mengelus rahangnya dengan hati-hati. Tidak mengindahkan bagaimana pandangan pengunjung lain terhadap mereka, karena saat ini tak ada yang lebih penting daripada presensi satu sama lain.

"Bohong," cicit Rhea setelah beberapa menit hanyut dalam hening. "Buktinya kau menemui Freya."

Lucien menarik diri, masih dengan seulas senyum terpatri. "Mengintip dari jendela, hm?"

"Bukan salahku kalau kamar yang kau pesan ternyata menghadap ke depan hotel." Rhea mendongak, beradu tatap dengan Lucien. Sejurus kemudian, ia terhenyak. "Atau ini bagian dari rencanamu, hah?"

Lucien terkekeh. "Harus kuakui, tindakanmu pagi ini di luar prediksiku, little butterfly."

Mulut Rhea menganga. Menyadari bahwa ia baru saja terjebak dalam perangkap rubah licik, Rhea memukul dada Lucien untuk melampiaskan kesal. "Aku bersumpah, Lucien Chen! Kau adalah pria paling menjengkelkan yang pernah kutemui. Apa kau tahu aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu! Apa kau tahu yang kupikirkan adalah kau ikut pergi bersama dengan Freya!"

Lucien mencengkeram lembut kedua tangan Rhea. "Bukankah aku sudah berjanji akan bersamamu, setidaknya sampai kau lulus?"

"Siapa yang tahu?" dengue Rhea membuang muka ke arah yang berlawanan. "Mungkin saja kau berubah pikiran dan pergi dengannya, kan?"

Menggenggam jemari Rhea dengan satu tangan, Lucien menangkup dagu sang hawa agar kembali melihatnya. "Dan kenapa aku harus pergi dengannya setelah berjanji tidak akan kembali pada White Crow?"

The Painter and The ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang