Twenty Three

27 13 18
                                    

Rhea melongokkan kepala ke arah ruang rapat yang temaram. Tidak seperti kebanyakan orang yang memilih menghabiskan hari libur bersama dengan keluarga atau orang tersayang, Lucien tetap bersikeras meluangkan waktunya untuk penelitian. Dedikasi yang luar biasa.

Ia sendiri tidak keberatan menemani sang pria. Bayangan menghabiskan libur di Peterborough bersama dengan bibi Lavinia nyaris membuat kepalanya sakit. Jika sama seperti tahun lalu, maka pertanyaan kapan ia akan lulus atau kapan ia akan mandiri atau rentetan omelan berisi nasihat tentang menjadi sosok wanita yang baik dan elegan akan menjadi topik utama hingga tahun baru.

"Masuk saja, little butterfly." Suara teduh Lucien tiba-tiba mengudara, membuat Rhea berjengit. "Aku sulit berkonsentrasi kalau kau memandangku terus-menerus."

Rhea meringis pelan. "Bagaimana kau bisa tahu?"

Gerakan tangan Lucien terhenti di udara. Pria itu memutar kursi, menghadapnya dengan seringai tipis. "Observasi sederhana."

Rhea mendengus kesal, tapi tak membalas. Ia mengambil bungkusan cokelat dari dalam tas jinjing, hadiah natal yang terpikir di saat-saat terakhir. Gagasan Lucien menyiapkan hadiah untuknya menyebarkan bahagia yang tak tergambar oleh kata. Memaksanya memeras otak untuk menggali semua informasi yang ia ketahui tentang Lucien. Hadiah yang ia siapkan adalah hasil berpikir selama tiga hari.

"Kali ini disertasi atau penelitian?" Rhea duduk di kursi yang kosong, tidak menolak saat Lucien menarik kursinya mendekat. Mengintip layar laptop sang pria, Rhea menyimpulkan kalau Lucien sedang mengerjakan bab terakhir disertasinya. "Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana otakmu bekerja, Senior Lucien."

"Aku tidak berbeda dari orang kebanyakan," gumam Lucien geli. "Yang membedakan hanya kekuatan dan fokus saat bekerja."

Rhea meringis. "Kalau begitu kekuatan dan fokusmu saat bekerja melebihi orang biasa."

"Terima kasih atas pujiannya." Lucien terkekeh pelan. Tatapan pria itu beralih pada bungkusan cokelat yang berada di pangkuan Rhea. "Itu hadiah natalku?"

Rhea berusaha untuk tidak mengalihkan pandangan saat Lucien mengangkat sebelah alis ingin tahu. Wajahnya menghangat kala netra keunguan sang pria melekat, menunggunya untuk memberikan hadiah natal. Tak ingin menjadi satu-satunya pihak yang dijahili, Rhea melirik jam dinding.

"Sabar sedikit, Senior Lucien. Hari saja belum berganti." Rhea menyentakkan dagu ke arah jam. "Tidak ingin merusak kejutannya, kan?"

Lucien tergelak rendah. Pria itu merogoh sesuatu dari dalam laci, mengambil kotak berwarna biru beludru dengan pita putih yang tersimpul di atasnya. "Kurasa bertukar hadiah tepat di hari natal bukan aturan mutlak. Berkenan menciptakan tradisi baru denganku?"

Senyum simpul yang terulas di bibir Lucien seakan memberitahu bahwa pria itu juga tak sabar untuk melihat reaksinya. Cahaya temaram dari layar laptop tak bisa menyembunyikan sirat jahil bercampur jenaka dari rupa sang pria. Rhea menduga apapun yang berada dalam kotak biru itu, pastilah sesuatu yang tak terduga.

"Apa kau akan menjaga tradisi ini untuk kita berdua saja?" tanya Rhea setelah kembali menemukan suaranya.

Lucien mengangkat bahu acuh tak acuh, masih mengulum senyum. "Apa kau ingin aku melakukannya dengan orang lain?"

"Bisakah kau tidak menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lainnya?" sergah Rhea memukul lengan Lucien yang tertawa kecil. "Aku serius. Tradisi baru yang kau ciptakan bersamaku ... apa kau akan melakukannya dengan orang lain?"

Lucien mendenguskan tawa, menopang dagu pada telapak tangan. Pandangannya masih belum berpaling dari rupa Rhea, terhibur dengan reaksi yang diberikan sang hawa. "Untuk apa melakukan ini dengan orang lain jika kau masih bersamaku, little butterfly?"

The Painter and The ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang