"Rhea, maukah kau berbaik hati dan menyiapkan minum untuk tamumu?" suara bibi Lavinia yang nyaring berhasil mengejutkan Rhea. Gadis itu melirik ragu, keberatan meninggalkannya berdua dengan sosok yang senantiasa menghantui mimpi buruk. "Cepatlah. Lucien mungkin haus setelah perjalanan panjang."
Rhea sudah menyuarakan kegelisahannya sepanjang perjalanan menuju Peterborough. Berkata bahwa gadis itu bisa beralasan kalau ada hal mendadak yang harus diurus sehingga mereka terpaksa membatalkan janji temu dengan sang bibi. Keresahan Rhea kian jelas setelah mereka menginjakkan kaki di rumah lantai dua yang terlihat sederhana.
Kaki Rhea tidak berhenti bergoyang, bahkan gadis itu kerap kali memainkan ujung kemeja atau menarik kulit jemarinya. Lucien harus memerangkap jari-jari sang hawa dalam genggamannya untuk mencegah tangan Rhea terluka.
Lucien menoleh pada Rhea, mengangguk kecil untuk menenangkan sang hawa. "Secangkir teh hangat akan sangat kuhargai, little butterfly."
Rhea mengembuskan napas panjang. Berulang kali menatapnya dan bibi Lavinia bergantian seolah mereka akan saling serang ketika gadis itu menghilang dari pandangan. Yah, jika wanita di hadapannya tidak berhenti merendahkan Rhea dengan berbagai cara, mungkin ia akan mengambil jalur ekstrem untuk menghentikannya.
"Baiklah, kutinggal sebentar." Lucien menyematkan tepukan pelan pada punggung tangan sang hawa sebelum Rhea beranjak meninggalkan ruang tengah. "Bibi, kumohon. Bersikap baik pada Lucien."
"Tentu saja." Bibi Lavinia tersenyum simpul, tetapi pandangannya melekat pada Lucien.
Lucien mengulas senyum tipis. Ia bisa melihat kemiripan antara sang bibi dengan keponakan, membuatnya bertanya-tanya apakah mendiang ibu Rhea juga memiliki pembawaan yang sama. Walau secara fisik keduanya sangat berbeda—bibi Lavinia memiliki mata hijau cerah dan helai keemasan yang bersinar. Keduanya menguarkan aura percaya diri yang tak tersentuh.
"Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan?" tanya bibi Lavinia tajam. Mata wanita itu menyipit seolah tengah menentukan apakah ia kawan atau lawan.
"Hampir dua bulan," jawabnya tenang sembari menjalin jemari di atas lutut. "Aku adalah asisten dari dosen yang mengampu tim penelitian Rhea untuk tugas akhirnya."
Kening bibi Lavinia mengerut. "Bukankah tidak etis jika kau berhubungan dengan mahasiswimu?"
"Aku hanya asisten dosen saja. Statusku tetaplah mahasiswa. Tidak ada yang salah dengan menjalin hubungan sesama mahasiswa, bukan?" balasnya mengulas senyum tipis.
Air muka bibi Lavinia berubah. Sudut bibir wanita itu berkedut menahan rengut, menyilangkan kaki lalu menyandarkan punggung di sofa. Meski sirat penuh penilaian masih sangat terasa di mata hijau sang wanita, Lucien tetap tidak bereaksi. Mungkin wanita itu tidak terbiasa berhadapan dengan orang yang mampu menyanggah kata-katanya.
"Rhea bilang kau sudah lulus?" Wanita itu kembali melempar pertanyaan. Lucien bersumpah ia merasa seperti sedang diinterogasi, meskipun cara bertanya bibi Lavinia jauh lebih lunak daripada Athena. "Apa rencanamu nanti?"
"Untuk beberapa bulan ke depan, aku akan tetap menjadi asisten dosen. Aku bertanggung jawab untuk menemani tim penelitian profesor sampai lulus." Lucien mencondongkan tubuh, mengulum senyum kala ekor matanya menangkap Rhea yang berusaha menguping dari arah dapur. "Setelah keponakanmu lulus, aku akan menetap di Cina untuk mengurus laboratorium penelitianku sendiri."
Alis bibi Lavinia bertaut. "Apa maksudmu? Rhea akan mengikuti wisuda semester ini, kan?"
Lucien mendengar suara terkesiap samar yang familiar. "Sayang sekali. Karena kemampuan Rhea yang luar biasa, profesor sering memintanya untuk ikut berbagai konferensi maupun membantunya mengerjakan projek lain. Aku yakin, ia bisa lulus semester depan."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and The Butterfly
RomanceRhea Crawford hanya ingin lulus tepat waktu. Ia muak dengan rongrongan sang bibi yang bertanya 'kapan lulus?' dan cacian lain. Namun, atas rekomendasi dari si asisten dosen, Lucien Chen, ia malah terjebak dalam tim paling rumit dengan presentasi kel...