Eight

54 20 38
                                    

Tidak ada yang lebih menyenangkan bagi Rhea daripada larut dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Dunia di mana ia yang menjalankan sistem dan nasib para karakternya. Dunia di mana ia bisa menguapkan duka dan mengobati luka. Dunia yang telah menjadi pelariannya semenjak sang Ibu tiada.

Deskripsi Fuchsia yang akhir pekan lalu ia abadikan dalam buku catatannya ternyata bisa digunakan untuk menggambarkan perasaan kasih sayang yang menggebu dari karakter wanita dalam cerita. Perpaduan antara merah, ungu dan merah muda bercampur putih sangat cocok dengan makna Fuchsia dalam bahasa bunga. Pernyataan cinta, kepercayaan diri dan awal yang baru.

Terlalu larut dalam alur yang hampir menuju puncak, membuat Rhea gagal menyadari seseorang baru saja masuk ke laboratorium dengan langkah ringan.

"Jadi deskripsi kemarin diubah menjadi cerita juga?"

Rhea berjengit, nyaris melompat dari kursi saat suara rendah menyapa dari balik bahu. Ia buru-buru menutup buku catatan, menoleh dengan tatapan paling tajam dan menemukan Lucien tengah mengulas senyum tipis.

"Bisakah kau mengetuk pintu atau mengumumkan kedatanganmu dulu?" sergah Rhea sembari mengusap dada, berharap jantungnya yang berdebar kencang bisa segera normal. "Memangnya kau hantu?"

Lucien mengangkat bahu acuh tak acuh, mempertahankan senyum. "Bukan salahku kalau kau tidak mendengarku masuk. Terlalu asyik menulis cerita, hm?"

Rhea menghela napas panjang. Ia kembali membuka buku untuk lanjut menulis beberapa detail pada adegan menyatakan perasaan karakter prianya. "Jangan mengejek. Kau sudah berjanji tidak akan menertawakanku kemarin."

"Tidak ada yang mengejekmu." Lucien menaruh tas di atas meja yang berada di bagian depan laboratorium lalu mengambil jasnya yang tergantung di dekat pintu. "Kau sedang luang? Mana yang lain?"

"Kathleen datang agak siang karena begadang menyelesaikan tugas Profesor Welton." Rhea menulis catatan kaki pada bagian bawah halaman agar ingat detail macam apa yang harus dicari tahu lebih dalam. "Ian masih ada kelas pilihan, jadi menyusul."

"Dan kau?" Lucien duduk di samping Rhea. "Aku tahu kau memang ambisius, tapi menunggu proses refluks berjalan sekarang, bukankah terlalu pagi?"

Rhea mengedikkan bahu. "Aku lebih suka mulai bekerja saat pagi. Kalau sudah siang malah malas."

"Lalu apa yang kau lakukan selagi menunggu reaksimu selesai?" tanya Lucien lagi.

"Aku sedang menulis, seperti yang kau lihat." Rhea meletakkan penanya ke atas meja dengan kasar, menoleh pada Lucien dengan tatapan kesal setengah putus asa. "Kau memang sepayah ini saat mencari topik atau bagaimana?"

Lucien terkekeh, mengambil buku dari dalam tas. "Apa salahnya dengan bertanya?"

"Salahnya kau menggangguku," geram Rhea seraya menutup bukunya. "Lupakan saja. Ide brilianku sudah lenyap entah ke mana. Pasti karena pengaruh kedatanganmu."

Lucien memutar kepala ke arah Rhea, menopang kepala pada kepala tangan. "Aku merasa terhormat karena presensiku bisa begitu berpengaruh padamu."

"Tutup mulutmu."

Lucien mengangkat tangan pertanda menyerah lalu kembali sibuk dengan tas dan buku di atas meja. Sementara Rhea mengembuskan napas berat, mencoba mengatur emosi yang sempat meluap agar tidak memengaruhi suasana hati di sisa hari.

Sekarang masih pukul delapan pagi, masih terlalu awal untuk membiarkan harinya rusak karena interferensi satu pria menjengkelkan. Merasa sisi kreatifnya telah pudar, Rhea memutuskan untuk mengerjakan tugas Profesor Raymond selama proses refluksnya berlangsung—yang membutuhkan waktu sekitar tiga sampai empat jam.

The Painter and The ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang