Twenty Five

29 14 26
                                    

Dua hari berlalu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Lucien di depan ruang sidang. Sejak Freya memengaruhi pikirannya dengan gagasan Lucien terlibat dalam kecelakaan sang ayah. Sejak ia mengurung diri di kamar asrama dan menghindari laboratorium bagai virus menular.

Rhea masih tetap mengolah data yang ia dapatkan untuk penelitian gabungan. Ia masih menyusun tugas akhir yang harus selesai sebelum pertengahan tahun dan ia masih datang ke kampus untuk menghadiri kelas. Semua kelasnya, kecuali kelas profesor Raymond. Karena ia tahu Lucien akan menggantikan sang profesor selama beberapa hari ke depan.

Panggil Rhea pengecut, karena nyatanya ia masih belum berani untuk menemui Lucien. Tidak saat dirinya masih terombang-ambing dengan omong kosong Freya. Tidak saat ia masih sulit untuk percaya pada apapun yang akan diucapkan sang pria.

Rhea melirik ponselnya yang berdering, menandakan ada pesan masuk untuk yang ketiga kalinya dalam lima belas menit terakhir. Ia tahu siapa yang mengirim pesan, tapi tidak ingin membalasnya.

Mengintip isi pesan dari layar yang terkunci, Rhea mengembuskan napas gemetar. Lucien.

Masih belum ingin bicara denganku?

Tidak masuk kelas lagi? Kau baik-baik saja?

Segeralah kembali setelah masalahmu selesai. Aku akan menunggumu.

"Menunggu apanya!" Rhea mendengus jengkel. "Kau bahkan akan meninggalkanku ke Cina bersama dengan tunanganmu yang cantik itu, kan? Dasar rubah licik!"

Amarah yang bercampur dengan kebingungan menenggelamkan Rhea selayaknya badai di tengah lautan. Tidak ada jalan kembali. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mempertahankan kapalnya yang mengapung tak terkendali. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah menunggu badai reda sebelum kembali berlayar. Sebelum kembali ke aktivitas biasanya.

"Rhea?" Ia tidak menggubris ketukan di pintu. "Aku boleh masuk?"

Betapa ia berharap bisa menolak. Namun, menangkap sirat cemas dan sendu dalam pertanyaan dari sahabatnya di balik pintu, Rhea tidak kuasa untuk mendorong keduanya menjauh lebih lama. Kathleen dan Genevieve telah berusaha menggapainya dua hari terakhir, tapi ia butuh waktu untuk menenangkan diri. Setidaknya hari ini, perasaannya jauh lebih baik.

"Pintunya tidak dikunci." Rhea menyahut serak.

Khawatir. Itulah yang tergambar di raut Kathleen dan Genevieve. Keduanya masuk dengan hati-hati seolah mereka akan menginjak ranjau jika terlalu antusias. Ia melirik baki berisi mangkuk yang menguarkan aroma sedap juga tiga cangkir besar.

"Kau belum makan sejak pagi." Ia menilik jam digital di meja belajar, mendapati bahwa matahari nyaris kembali ke peraduan. Pandangannya bergulir pada Genevieve yang menaruh baki di atas selimut. "Mau cerita apa yang terjadi padamu?"

"Kami mungkin tidak sepenuhnya mengerti," imbuh Kathleen. "Tapi memiliki telinga yang bisa memahamimu bisa membantu."

Rhea menerima cangkir berisi cokelat hangat yang disodorkan Genevieve, menghidu aroma harum yang menenangkan. "Aku bisa menanganinya sendiri."

"Omong kosong," sergah Kathleen tajam. "Kau mengurung diri selama dua hari, Rhea. Ini pertama kalinya aku melihatmu begini. Apapun yang terjadi sangat mengganggumu. Kami ada kalau kau mau bercerita."

"Ayolah Rhea." Genevieve ikut membujuk. "Kau membantuku saat aku tidak punya siapapun untuk mengadu. Kau mendengarkan semua ocehanku saat aku mabuk atau setengah mengantuk. Kau bahkan menanggapi racauanku tentang Patricia. Biarkan aku membalasnya sekarang."

Pelupuk matanya menghangat. Ia mengerjap cepat, enggan meneteskan air mata di depan dua pasang mata yang mengawasinya bagai elang mengincar mangsa.

"Kau tidak perlu melaluinya seorang diri." Kathleen beringsut mendekat, duduk di tepi ranjang yang berlawanan dengan Genevieve. "Kau salah satu orang paling kuat yang kutemui, Rhea, tapi orang terkuat pun boleh menunjukkan sisi lemah mereka."

The Painter and The ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang