Three

72 27 38
                                    

"Rhea, ponselmu sudah berdering sejak lima menit yang lalu." Kathleen, teman seasramanya yang kini merangkap menjadi teman setim, menepuk bahunya seraya menguap lebar. "Alarm?"

"Bukan." Rhea menggeleng. "Pasti bibiku."

Kathleen hanya mengangguk dan tersenyum simpatik, tahu bahwa bibinya adalah topik sensitif yang tidak ingin ia bahas lebih dalam.

Tidak sekali-dua kali Kathleen memergokinya bicara melalui telepon dengan sang bibi. Tidak jarang pula Kathleen mendengar bibinya mencerocos panjang tentang berbagai hal—suara bibinya terkadang menggema seperti sedang memakai pengeras suara.

"Aku kembali dulu." Rhea menghela napas sambil membawa piring berisi sarapan.

"Semangat!" balas Kathleen melambaikan tangan tanpa berbalik, sibuk menyiapkan kopi pertamanya hari ini.

Rhea mendengus kasar ketika ponselnya berdering nyaring. Mengintip identitas penelepon dari layar langsung membuatnya kehilangan nafsu makan. Jika ada satu orang yang mampu membuatnya kehilangan gairah hidup hanya dengan melihat nama, maka bibi Lavinia—atau ia sering memanggil wanita berkepala empat itu dengan sebutan Bibi Lav—menempati puncak teratas.

Ia meletakkan piring berisi telur dan daging asap di atas meja belajar, meraih ponselnya dengan gerakan kasar. Betapa ia berharap Bibi Lav berhenti meneleponnya di percobaan pertama. Namun, ia tahu keinginan itu sekadar angan-angan.

"Ya, Bibi Lav?" ringis Rhea setelah sang bibi menelepon untuk yang ketiga kalinya.

"Kenapa lama sekali menjawab teleponmu?" suara nyaring dan tipis itu menggema dari seberang sambungan. "Apa kau baru bangun? Oh, astaga, Rhea. Bukankah sudah kubilang kalau pemalas tidak akan mendapatkan tempatnya di dunia yang kejam ini."

Iya. Kau sudah mengatakannya ratusan kali, gerutu Rhea dalam hati, tetapi ditahan. Ia tidak ingin menghabiskan energi yang belum terkumpul sepagi ini. "Tidak, bibi. Aku sedang memasak sarapan. Ponsel kutinggal di kamar."

"Baguslah kalau kau memasak. Kau memang harus mengawasi pengeluaranmu, Rhea. Bulan lalu, kau menghabiskan terlalu banyak uang untuk makan di luar," omel bibi Lav. Rhea memijat keningnya yang mendadak sakit. "Kau perlu ingat, sekarang aku yang membiayai kehidupanmu. Karena itu segeralah lulus dan cari pekerjaan agar kau bisa hidup mandiri."

Maksudmu uang yang kau keluarkan dari warisan ibuku? Rhea menghela napas panjang, menahan diri agar kalimat itu tidak terlontar tanpa sengaja. "Jadi, untuk apa Bibi meneleponku pagi ini?"

Ia benar-benar berharap agar sang bibi segera menyatakan tujuannya lalu memutus sambungan. Lagi-lagi, itu adalah harapan kosong. Karena sang bibi tidak akan berhenti mengoceh dengan aksen tenggaranya yang kental, setidaknya sampai setengah jam lagi.

Seperti yang telah ia duga, bibinya bicara tentang ia yang nyaris tidak pernah kembali ke Peterborough padahal jaraknya dari Leicester tidak sampai dua jam. Kemudian alur pembicaraan akan berubah dengan betapa sulitnya mengurus rumah yang menjadi warisan dari mendiang ibunya, Julianne Crawford. Lalu, setelah puas mengeluh dan memamerkan apa saja yang telah ia lakukan untuk mempertahankan rumah warisan itu, sang bibi pasti akan menanyakan tentang studinya.

"Benar juga. Bagaimana dengan tugas akhirmu?" pertanyaan Bibi Lav membuat napasnya tercekat di tenggorokan. "Kau masih ingat dengan Liliana, kan? Teman sepermainanmu yang tinggal di rumah depan? Ia bahkan sudah berhasil menyelesaikan studinya dan akan di wisuda Oktober ini. Aku mengharapkan berita baik yang sama dari keponakanku."

Rhea meringis. Dari bebanmu, maksudnya? "Kami sudah tergabung dengan tim penelitian masing-masing, Bi. Minggu depan bisa segera mulai penelitian."

The Painter and The ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang