"Biar kurekap." Lucien mengangguk penuh perhatian kala Rhea menghentikan langkah. "Kau memaksaku untuk bangun lebih pagi di akhir pekan, memintaku untuk berkeliaran sepagi ini di luar kamar asramaku, hanya karena kau ingin ditemani survei sebelum kelas musim gugur taman botani dimulai?"
Lucien mengangguk, mengulas senyum tipis. "Versi lebih panjangnya begitu."
Sebelah alis Rhea terangkat. "Oh? Lalu bagaimana versi singkatnya?"
"Profesor Raymond memintaku untuk bekerja sama dengan staff taman botani dan aku mengajakmu ikut serta," jelas Lucien kembali melanjutkan langkah.
Rhea menyejajarkan langkah Lucien. "Dan kenapa aku harus ikut?"
"Karena kau berutang padaku, ingat? Untuk membantumu menyelesaikan proposal tepat waktu." Lucien menoleh pada Rhea. Diam-diam menahan kekehan kala kening Rhea mengerut tak suka. "Jadi, kuputuskan agar kau membayarku dengan menemaniku di pagi yang cerah ini."
"Seingatku, kau yang berutang padaku karena bertingkah menyebalkan," balas Rhea tajam.
Lucien mengangkat jari telunjuknya. Ia berhenti melangkah, menghadap Rhea masih dengan senyum terpatri di wajah. "Aku bilang akan membantu penelitianmu, bukan menyusun proposalmu. Dua hal yang berbeda, bukan begitu?"
Rhea membelalak. Gadis itu membuka mulutnya untuk membalas, tapi tidak ada suara yang keluar. Detik selanjutnya, sang hawa mengatupkan bibir. Ia yakin Rhea sedang berusaha mengingat percakapan mereka beberapa waktu lalu, saat ia dengan senang hati menawarkan bantuan. Namun, gadis ini belum tahu ia sengaja memanfaatkan celah dalam ucapannya.
"Kau sangat menyebalkan, kau tahu itu?" Rhea akhirnya bicara setelah beberapa menit bungkam, menyadari bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan selain menerima ucapan Lucien.
Ia mengangguk. "Sudah pernah ada satu atau dua orang yang berkata demikian."
Rhea mendengus. "Dan nyaris satu departemen memujimu karena kepiawaianmu mengajar."
"Kehidupan profesional dan pribadi adalah dua sisi yang berbeda, bukan?"
Rhea meliriknya tajam, kemudian mendengus kasar. Gadis itu menyesuaikan tali ransel di bahu usaha untuk menyalurkan kekesalan, lalu berjalan mendahuluinya dengan langkah cepat. Lucien tidak berkomentar saat Rhea mengambil jalan memutar untuk mencapai kantor yang terletak di tengah-tengah taman botani.
Kekehannya mengudara kala Rhea membuang muka saat ia menyejajarkan langkah. Meski begitu, langkah kaki Rhea melambat.
Ia mengamati sekeliling dengan mata menyipit. Matahari telah memancarkan sinarnya yang terik meski jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi. Alih-alih kerumunan orang yang sibuk bercakap-cakap, bertukar sapa dan mengagumi koleksi tumbuhan yang ada, barisan pepohonan hijau juga semak-semak disertai dengan bebungaan yang menyembul menjadi pemandangannya. Benar-benar angin segar bagi mereka yang penat dengan kehidupan bising perkotaan.
Mereka melewati taman air. Wilayah dengan kolam besar yang terapit oleh pilar dan tali untuk bunga mawar. Pada permukaan kolam yang tenang, tumbuh berbagai macam lili air. Kebanyakan berwarna merah muda pucat yang tampak indah. Langkah mereka berlanjut pada Sunken Garden yang dipenuhi oleh banyak petak tumbuhan di atas trotoar bata. Dari yang ia tahu, rotasi tumbuhan yang ditanam saat musim semi dan musim panas selalu dilakukan dengan cara tradisional pada petak-petak itu.
"Apakah ada alasan mengapa profesor Raymond ingin bekerja sama dengan pihak taman botani?" Pertanyaan Rhea mengudara saat mereka berada di taman Fuchsia.
Ekor matanya menangkap sosok sang gadis yang berdiri mengamati tiap kelopak Fuchsia yang berwarna merah muda cerah dan ungu gelap. Perpaduan yang indah dan menarik perhatian. Rhea menelisik koleksi Fuchsia dengan saksama, seolah berusaha melekatkan potret bunga itu dalam ingatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and The Butterfly
RomanceRhea Crawford hanya ingin lulus tepat waktu. Ia muak dengan rongrongan sang bibi yang bertanya 'kapan lulus?' dan cacian lain. Namun, atas rekomendasi dari si asisten dosen, Lucien Chen, ia malah terjebak dalam tim paling rumit dengan presentasi kel...