Thirty Two

36 4 6
                                    

Rhea bersumpah. Jika tatapan mata mampu membunuh seseorang, maka para mahasiswi yang mengerubungi Lucien pasti telah terkapar dengan ratusan cara paling menyakitkan. Ia tidak pernah berpikir bahwa dirinya adalah kekasih yang pencemburu. Namun, prasangka itu berhasil dipatahkan saat batinnya bergejolak jengkel kala memergoki Lucien berada di tengah kerumunan mahasiswi.

Di hari kelulusan Lucien, ia ingin menyambut sang pria dengan senyum bangga. Terlebih setelah tahu bahwa Lucien adalah mahasiswa terbaik di angkatannya. Siapa yang tak mau menyambut kekasih mereka dengan pelukan hangat dan senyum manis? Sayangnya, desakan itu harus dikubur dalam-dalam karena bukan hanya dirinya yang bangga dengan pencapaian Lucien.

Para penggemar sang pria juga memiliki gagasan yang sama.

"Santai sedikit." Genevieve menyenggol bahunya. "Mereka tidak akan bisa melihat Lucien lagi setelah kelulusan. Kau beruntung masih bisa melihatnya setiap hari."

Rhea mendecak. "Setiap hari apanya? Kalau ia harus pergi bersama profesor Raymond, aku mana bisa menemuinya."

Genevieve bertukar pandangan dengan Kathleen. "Aku tidak menyangka Rhea bisa secemburu ini."

"Aku tidak mau mendengar komentar dari gadis yang merajuk saat kekasihnya mengobrol dengan Patricia Wells." Ia mencibir pada Genevieve, lalu melirik Kathleen yang hendak membuka mulut. "Juga tidak mau tahu pendapat gadis yang merengek padaku semalaman karena calon kekasihnya terlalu sibuk latihan sampai tidak bisa menyanggah berita kencannya di portal berita."

Kathleen mengangkat kedua tangan. "Baiklah, baiklah. Simpan cakarmu, Singa Betina."

Rhea mendengus. "Bahkan cara bicaramu sudah mirip seperti Adrian."

"Sangat cocok, kan?" Ekspresi Kathleen berubah sumringah. "Banyak orang yang bilang kalau banyak kemiripan sifat pertanda mereka adalah jodoh."

Rhea mendesah kasar. Tatapannya kembali pada kerumunan mahasiswi di depan gedung departemen yang berlomba-lomba memberi hadiah kelulusan pada satu-satunya asisten dosen favorit mereka. Ia tahu bahwa Lucien populer dan digandrungi oleh banyak kaum hawa, tapi ia tidak tahu mereka akan segamblang ini dalam mengutarakan rasa suka.

"Menurutmu aku berlebihan kalau cemburu?" tanyanya lirih, menyandarkan punggung di kursi lobi. "Aku juga baru tahu kalau aku pencemburu."

Genevieve mengangkat bahu. "Kalau kekasihku setampan dan sejenius Lucien, aku juga cemburu."

"Ian akan merajuk kalau ia mendengarmu barusan." Kathleen menyentil kening Genevieve, terkikik saat gadis berambut gelombang itu mengaduh sebelum atensinya berpaling pada Rhea. "Menurutku tidak ada ukuran untuk kadar cemburu seseorang. Beberapa pria senang kalau kekasih mereka cemburu, sisanya kesal karena terlalu dikekang. Kenapa tidak bicarakan saja pada Lucien?"

Rhea termenung.

"Maksudku, lihat saja priamu. Ia menakjubkan dengan jas lab, tapi dengan baju toga? Auranya sedikit berbeda," tambah Kathleen. "Dan ... Adrian cerita kalau kau memang protektif sejak dulu. Mengecek latar belakang calon kekasihnya adalah hal yang ekstrem, bukan?"

Rhea terkesiap berbarengan dengan Genevieve. Kathleen tergelak menyaksikan reaksi mereka.

"Rhea apa?"

"Adrian bilang apa?"

Ia menarik napas panjang, mengubur desakan untuk menutup muka dengan kedua tangan. "Sebagai pembelaan, Adrian terlalu mudah jatuh cinta pada orang yang salah. Aku hanya ingin menjaganya dari calon kekasih yang menyesatkan, oke?"

Kathleen mengulum senyum. "Terus katakan itu pada dirimu sendiri."

Rhea mendecak, membuang muka saat Genevieve menyunggingkan seringai menggoda. "Jadi, dari sana sikap protektifmu dimulai, hm?"

The Painter and The ButterflyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang