Rhea nyaris kehilangan napas ketika pagi ini Profesor Raymond datang bersama dengan Lucien untuk mengawasi kinerja mereka. Laboratorium yang biasanya penuh obrolan dan canda mendadak hening. Mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ia menilik Profesor Raymond dan Lucien yang berdiskusi dengan suara berbisik di meja depan laboratorium seraya menggenggam setumpuk map.
"Menurutmu apa yang mereka bicarakan, querida?" Ian beringsut mendekat, menyenggol sisi tubuhnya dengan siku.
Rhea menghela napas panjang. "Entahlah, tapi aku bersumpah. Jika mereka membicarakan projek lainnya, aku akan mengamuk."
Ian terkekeh pelan. "Kencanmu dengan Lucien tidak berjalan baik di Edinburgh?"
"Kencan macam apa yang kau bicarakan?" Rhea mendengus sinis. "Aku dikerjai habis-habisan, tahu. Kukira hanya seminar saja, ternyata ada diskusi terbuka yang menuntut pesertanya berpartisipasi."
"Mengenal dirimu, seharusnya semua berjalan baik, kan?" tanya Ian geli. Seringai lebar yang terpatri di bibir sang pria memberitahu Rhea betapa Ian senang mendengarnya sengsara. "Maksudku, Profesor Raymond tidak akan mengutus sembarang orang untuk mewakilinya."
Rhea melirik Lucien dalam diam, mengamati bagaimana helaian jelaga sang pria jatuh membingkai mata. Netra keunguannya berkilat serius dan cerdas. Jas laboratorium putih yang membentuk badan Lucien dengan tepat, menunjukkan bahu lebar dan menyembunyikan pinggang yang ramping.
Satu-satunya alasan ia tidak mempermalukan dirinya sendiri saat di Edinburgh adalah Lucien. Pria itu memastikan bahwa segalanya berjalan dengan lancar. Lucien juga memberinya peran yang sekiranya ia mampu, tidak merendahkan dan tidak terlalu sulit untuk dirinya.
"Iya. Segalanya berjalan baik." Rhea mengembuskan napas berat, menggeleng pelan lalu mengalihkan pandangan pada kondensor di hadapannya. "Tapi aku tidak ingin ikut projek lainnya. Sudah muak dan sudah lelah. Aku bahkan tidak punya waktu untuk penelitianku sendiri. Eksperimenku bahkan belum masuk tahap kedua."
"Sebenarnya progresmu terbilang cepat." Kathleen ikut menimbrung, membawa buku jurnal penelitiannya mendekat. "Aku bahkan perlu belasan hari untuk mendapatkan hasil produk di atas 50 persen, tapi kau nyaris berhasil mendapatkan hasil 80 persen di hari kelima."
"Tapi belum sepenuhnya murni," kilah Rhea. "Produk yang sekarang masih harus dimurnikan lagi sebelum bisa digunakan untuk tahap kedua."
"Dan kau jauh lebih cepat mendapatkan hasil daripada kita berdua." timpal Kathleen seraya melepas labu alas bulat dengan hati-hati. "Tenanglah. Kalau Profesor Raymond memberimu projek lain, kau pasti bisa menyusul kami."
Rhea mendecak, tidak mendebat. Beradu argumen dengan Kathleen yang keras kepala saat energinya sudah terkuras habis untuk menyusuri tiap langkah penelitian yang rumit bukan keputusan yang bijak.
"Stuart, Juarez, Crawford! Apakah kalian sudah selesai?"
Suara Lucien yang memecah hening sontak membuat mereka menoleh bersamaan. Kathleen buru-buru mengangguk. "Sudah."
"Aku masih harus memurnikan produk yang kudapatkan sekarang."
"Aku sedang menunggu proses destilasi. Kurang lebih sisa satu jam lagi."
Lucien mengibaskan tangan, menyiratkan agar mereka mendekat. "Ke ruang rapat sebentar. Ada yang ingin disampaikan oleh Profesor Raymond."
Sesuatu dalam dirinya yakin bahwa Profesor Raymond hendak memberi kabar buruk. Perutnya mulas memikirkan ada kemungkinan projek lain yang harus ia tangani. Bukan keberatan. Meskipun beban yang ia tanggung sangatlah besar, tapi ada hal yang jauh lebih ia takuti. Pertanyaan sang bibi tentang kapan ia lulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Painter and The Butterfly
RomanceRhea Crawford hanya ingin lulus tepat waktu. Ia muak dengan rongrongan sang bibi yang bertanya 'kapan lulus?' dan cacian lain. Namun, atas rekomendasi dari si asisten dosen, Lucien Chen, ia malah terjebak dalam tim paling rumit dengan presentasi kel...