Part 14 | Cousins

122 27 47
                                    

Tiba-tiba, "WOYYY STOOPPPP!!!!" teriak seorang lelaki dari kejauhan.
.
.
.
Suara tegas yang sudah dihafalkan seluruh siswa itu muncul. Tapi kali ini terdengar seperti teriakan marah dan membuat Belinda, Indri, dan Oliv menghentikan aktivitas mereka. Dia adalah Kevin sepupuku, si ketua OSIS.

"Apa-apaan kalian ini? HAH!!" tanya Kevin dengan suara keras. Nadanya terdengar sangat marah. Waktu aku jatuh saja dia begitu panik, apalagi sekarang melihatku dirundung begini?

"Eh, Kak Kevin!!" seru Belinda, Indri, dan Oliv terkejut. Mata mereka membesar.

Kevin mengacuhkan mereka karena dia fokus denganku yang terduduk di atas lantai. Aku yakin rambutku sudah acak-acakan karena dijambak.

"Kamu nggak papa, Leen?" tanyanya sambil merapikan rambutku dan mengusap kecil keringat di sekitar anak rambutku tanpa rasa jijik.

"Iya, Vin. Mereka—" Aku yang ingin menjawabnya terpotong oleh Kevin.
Mata Kevin terfokus pada lantai yang terdapat bercak merah. Benar kan, aku berdarah.

Ia meraih tanganku, lalu berteriak, "APA YANG KALIAN LAKUKAN SAMPAI DIA TERLUKA BEGINI, HAHH??"

"Enggak, Kak. Bukan aku kok. Itu Indri sama Belinda!" kata Oliv asal melempar.

"What? Lo yang jambak dia kok!" balas Belinda tidak terima.

"Tapi kan lo yang bikin dia sampe jatoh!" balas Oliv lagi.

Kevin yang sedang membantuku berdiri pun berkata, "CUKUUPP!! Kalian nggak ada yang bisa dipercaya."

"Saya yakin kamu bisa memberi kejelasan pada saya," lanjutnya sambil menatap Vanes.

Vanes menundukkan kepalanya singkat. "Belinda dorong Aleen sampe jatuh. Di dekat situ ada tumpukan kayu, mungkin ada paku sampe Aleen berdarah. Oliv dan Indri juga jambak Aleen. Saya berusaha melerai, Kak, tapi mereka tetap nggak mau berenti," jelas Vanes.

Kevin terlihat menyimak dengan serius. "Terima kasih atas penjelasannya," ucapnya kepada Vanes. Vanes pun mengangguk sebagai jawaban.

"Dan kalian—Atas dasar apa kalian melakukan ini? Menyerang Aleena secara fisik begini?" tanya Kevin seolah menginterview.

Mereka bertiga tidak ada yang menjawab. "Kenapa diam saja? CEPAT JAWABB!!" tanya Kevin. Emosinya meningkat lagi.

"Aleenanya ngeselin Kak, dia—" jawab Indri namun terpotong oleh Kevin yang menyunggingkan senyum dengan bibir kanannya yang lebih tertarik ke atas. Mana mungkin dia percaya?

"Saya mengenal betul Aleena seperti apa. Dia tidak akan mulai jika tidak ada yang menyerangnya. Bukannya kalian yang duluan?" tanya Kevin dengan cepat dan memotong jawaban Indri sebelumnya.

Belinda, Indri, dan Oliv terdiam. "Apapun alasannya kalian harus menerima semua resikonya. Bersihkan toilet dan kebun sekolah!" lanjut Kevin.

"HAHHH??" kaget mereka. Aku dan Vanes yang mendengarnya hanya tersenyum puas dan saling melirik.

"Nggak salah, Kak?" tanya Indri.

Belinda menyikut Indri. "Biarin lah daripada masuk BK," bisiknya. Namun, aku masih bisa mendengarnya.

"Saya nggak salah. Kalian yang salah, kan? Tenang saja, untuk surat peringatan akan saya urus dengan rapi, ya, Oliv, Belinda, dan Indri. Hukuman terkait verba bullying dan kekerasan fisik menjambak, mendorong, dan menjatuhkan hingga berujung pada luka pada bagian tubuh korban. Tunggu saja sampai kabar ini diterima orang tua kalian.."

Aku lihat Belinda dan Indri masih bersikap tengil. Namun, beda halnya dengan Oliv. Wajahnya terlihat malu sekaligus tertekan. Aku tebak dia tidak ingin kedua orang tuanya tau akan hal ini.

Before We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang