Part 28 | Pengakuan

100 15 46
                                    

Terima kasih sudah membaca cerita ini dan support aku. Part 28 ini mungkin agak sedikit sensitif, namun tidak bermaksud menyinggung pihak / profesi manapun.

Cerita ini sungguh fiksi belaka. Mohon diambil sisi positifnya. Penulis bermaksud untuk memberitahu bahwa segalanya tidak ada yang sempurna, setiap individu memiliki baik dan buruknya masing-masing

*****

Bu Ela maju perlahan-lahan. "Mohon maaf, Pak. Tapi itu saya," jawabnya.
.
.
.
Sambil menelan ludah, ia melanjutkan, "Saya yang sudah mengambil kalung milik Aleena."

Sehari setelah laporan Aleena, aku segera mendatangi Bu Ela. Waktu itu aku tanya apakah Bu Ela melihat sebuah kalung di dalam tas makeup Aleena? Tapi dia malah menjawab, "kamu nuduh saya nyuri ya?" Loh, seharusnya dia cukup bilang iya atau tidak. Aku sama sekali tidak menyinggung soal mencuri, dia sendiri yang mengatakan. Kurasa ini memang fakta, makanya dia sampai tersinggung begitu.

Lalu, aku meminta Bu Ela menjelaskan mengapa dia mengambil tas makeup Aleena. Disitu emosinya meluap-luap dan aku tanya tertawa. Kubilang saja, aku menunggunya 5 hari untuk mengaku. Dan akhirnya hari ini dia mengaku.

"Maksudnya mencuri?" jelasku dengan suara yang tidak terlalu besar. Tapi aku yakin kata-kata ini jelas menyindirnya.

Aleena dan Kevin menoleh ke arahku. Sementara, Bu Ela dengan tatapan tajamnya. "Saya mengaku karena didesak dan diancam oleh Adrian, Pak—"

Wah, masih saja dia beralasan. Belum selesai berbicara, kupotong saja. "Oooo, tunggu dulu... Ibu menyalahkan saya? Bukannya seharusnya anda yang berterima kasih karena kami sudah berbaik hati memberi waktu 5 hari untuk mengaku? Saya berbicara fakta, Bu!"

"Lihat, Pak! Murid macam apa dia ini?" ucap Bu Ela berusaha menyerang balik. Oh iya, mungkin kalimatku tadi kurang sopan.

"Mohon Bu Ela berhenti!! Jangan menyalahkan siswa jika memang ibu yang bersalah!" Pak Yanto berucap tegas. Ini yang kusuka darinya. Dia tegas, adil, dan pengertian.

"Adrian juga. Tolong kamu sedikit lebih sopan, bisa?" lanjutnya. Aku hanya mengangguk saja.

Aleena berjalan maju mendekati Bu Ela. "Bu... Kenapa Ibu mencuri kalung saya, Bu? Kalung ini berharga, tidak ada gantinya. Ini kalung peninggalan eyang saya!!"

Aku yakin sekali dia kesal karena menekan kata 'mencuri'. Kurasa sebelumnya ia menaruh rasa curiga terhadap Bu Ela. Ini terbukti saat ia tidak mencurigai teman-temannya. Belum lagi cerita tentang posisi makeup-nya yang berubah. Kusimpulkan tuduhannya terhadap tim keamanan merupakan alasan karena ia ingin tetap positive thinking kepada Bu Ela.

"Sa-saya b-butuh," jawab Bu Ela terbata-bata.

"Dimana letak akhlak dan hati nurani Ibu? Ini benar-benar mempermalukan citra anda sebagai seorang guru!!" ucap Pak Yanto. Dia terlihat sangat kecewa.

"Saya butuh untuk suami saya—karena harus cuci darah setiap minggu." Kini Bu Ela menunduk.

Kevin melirikku seolah mengode kasian juga Bu Ela. Ck, Vin... Vin... Bu Ela itu hanya memasang jurus minta dikasihani. Tapi aku tak mempan dengan hal seperti ini. Aku bisa jadi kasian kalau dia tidak melakukan hal ini. Hanya demi biaya cuci darah, kita harus memakluminya mencuri? OH, TENTU TIDAK!!

"Jikalau memerlukan banyak biaya, Ibu kan bisa bicara dengan saya. Nanti saya akan minta bantuan kepada yayasan. Jangan jadinya mencuri begini!" balas Pak Yanto. BETUL SEKALI. Aku 100% setuju dengannya.

"Maafkan saya, Pak. Aleena, saya minta maaf—" ujar Bu Ela yang masih menunduk sambil mengeluarkan kalung emas berbandul emerald dari saku blazernya.

Before We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang