Hii readerss!! Thank you for 800++😍😍
Kali ini aku mau sharing tentang bullying. Aku mau ceritakan bagaimana Aleena berani melawan itu. ✨Intinya prinsip Aleena: "lebih baik beradu argumen daripada kekerasan fisik, itu sama saja tidak pakai otak!"✨
Daripada berlama-lama, yuk langsung ajaa simak yang satu ini! Jangan lupa juga ini masih dari POV nya Aleena ya.*****
"Lo pikir kita mau pamer kemewahan? No! Kita pamer body, beauty, balance, and our spirit! Jadi, menurut gue nggak ah, too much," tolak Kak Fika untuk kesekian kalinya.
.
.
.
"Gimana kalo merah? Itu, kan, warna keberanian," usul Sera.Kak Fika hanya mengangguk sambil tersenyum remeh. "Boleh juga. Tapi sayangnya, tahun lalu merah itu kostum kita, sedangkan sekarang kita mau ganti warna," jelas Kak Hana. Namun ia tetap menuliskan 'merah' di papan tulis.
"Ada saran lain? Gimana kalo Aleena?" tanya Kak Hanum sambil berjalan ke arahku.
"Biru?" jawabku dengan nada bertanya.
Mereka semua terdiam seolah menunggu apa alasanku memilih warna itu. Beberapa dari mereka terlihat mengangguk. Mungkin sebenarnya mereka memiliki pemikiran yang sama denganku, yaitu biru. Hanya saja mereka keburu takut karena komentar kakak-kakak ini.
Kalian mungkin berpikir bahwa ini hanya hal sepele, namun lihat saja dari tadi saran dari banyak kepala belum ada yang diterima. Entah kami yang idenya kurang bagus atau senior kami yang banyak maunya? Intinya bagiku, ide teman-temannya malah sangat kreatif.
"Saya cuma menyebutkan warna yang belum disebut. Kalau kuning terlalu terang, ungu kegelapan, hijau mirip medis, dan gold berlebihan. Mungkin biru yang masih bisa dipertimbangkan. Lagian beberapa tim juga Raya banyak yang pakai biru kan?" lanjutku.
Kak Hana tersenyum kecil dan menuliskan 'biru' di papan tulis.
"Kalo pake biru, sekolah kita bakal keliatan kompak, kan?" ucap seseorang yang bernama Erinna. Ia akrab disapa Erin. Gadis manis ini rambutnya lurus, berponi tengah, dan sering sekali dikuncir setengah.
"Saya, sih, setuju," kata Adni. Kutebak dia teman dekat Erin karena mereka sekelas dan terlihat sering bersama.
"Bener tuh, biru," tambah Jessica si mungil ikut setuju.
"Tapi ya—biru nggak bagus ah. Cheerleader sekolah lain banyak yang pake biru," Belinda mengomentari.
Perempuan ini makeup-nya begitu tebal. Lihat saja bedaknya terang sekali, alisnya terlihat tebal, bahkan bibirnya dibuat besar dengan lipliner yang sengaja keluar dari garis bibirnya.
Kalian bertanya mengapa hal ini diperbolehkan? Tentu saja karena sekarang kami sedang ekskul! Jadi, ini dihitung sebagai jam di luar mata pelajaran sehingga siswi bisa terlepas dari peraturan tentang makeup dan pakaian.
"Bener tuh, ntar malah jadinya pasaran. Bukannya bagus, malah norak!" tambah Indri. Astaga si orang kaya norak ini bisa-bisanya berkomentar begitu? Ingin rasanya aku mengatainya di depan wajahnya, 'minimal ngaca Mbak!'
"Siapa bilang? Shades of blue tuh banyak. Sky blue, navy, denim, violet, pastel, ocean, turquoise, sapphire, teal? Tinggal kita sesuaikan aja, kira-kira Raya Cheers cocok dengan biru yang mana?" balasku dengan tegas dan jelas.
"Gimana, Fik? Gue, sih, setuju aja kalo biru. Biar nyamain tim lain nggak papa, kan!" kata Kak Shinta.
Kak Fika tersenyum kemudian berdiri dari kursinya. "Okay karena gue rasa banyak yang setuju sama biru, sooo kostum baru kita warna biru. Nanti kita tentuin lagi biru apa, desainnya gimana, variasi pompom, hairstyle, ah pokoknya banyak deh. Pantau aja grup karena disitu bakal ada ada voting by gform."
KAMU SEDANG MEMBACA
Before We Meet Again
Ficção Adolescente#1 in schoolfiction (April, Juni 2024) #3 in schoolromance (April 2024) Ini kisah seorang siswi kelas 10 yang mandiri dan pemberani, Aleena Dharmawan. Cara pandangnya yang unik membuat orang-orang menyukainya. Namun, hal tersebut juga membuatnya har...