Part 70 | The Third Person??

21 4 9
                                    

[Aleena's POV]
Belakangan ini Kak Fika sering sekali mengajak pacarku keluar. Beberapa hari yang lalu ke minimarket, bahkan Sabtu lalu mereka berangkat bersama ke kursus bisnis. Aku tahu mereka sekarang berteman lagi, tapi bisakah kurangi frekuensi 'jalan berdua' itu?

Terkadang aku ingin melarangnya atau memperingatkan untuk tidak sering-sering, tapi aku tidak ingin membatasi. Aku hanya ingin dia mengerti batasan itu tanpa aku harus menjelaskannya. Paham maksudku, kan?

Lula pernah berkata aku tidak boleh kalah dengan Kak Fika. Aku juga harus sering meminta Kak Adrian menemaniku kemana pun aku pergi. Kalau aku seperti itu, berarti aku bukan perempuan mandiri dong karena selalu mengandalkannya?

Seseorang menepuk bahuku pelan sambil berkata, "Leen, aku pinjem Adri, ya. Mau minta temenin ke toko buku." Pasti Kak Fika.

Aku menoleh ke arahnya. Sesuai tebakanku, perempuan ini benar-benar tidak tahu malu. Aku mengizinkan kalian berhubungan baik, bukam berarti dekat hampir setiap saat.

"Ehm, kayaknya mending–"

Baru saja ingin menjawab tiba-tiba Kak Adrian menghampiri kami dan berkata, "Leenleen, aku mau nemenin Fika sebentar. Kita nanti jam berapa? Sore apa malam? Biar aku bisa langsung balik!"

Sialnya kata-kata yang keluar dari mulutku malah berlawanan dengan kata hatiku. "Santai aja. Malam kok."

"Aleen, kamu tapi nggak cemburu, kan? Kalo kamu nggak percaya, ikut kita aja. Ya kan, Dri? Dari situ kalian malah bisa langsung jalan-jalan."

Aku tidak suka. Nada bicaranya terdengar seperti meledekku.

Mendengar itu, aku tersenyum. "Sama sekali enggak! Abis ini ada janji sama anak rayfash. Kita mau bikin baju tinkerbell."

"Itu bukannya udah jadi minggu lalu ya, Leen?"

Astaga, dia benar juga. Foto bajunya bahkan sudah diposting di instagram Rayfash. Tentu saja, dia tahu. Atau dia sengaja mencari selah supaya aku terlihat tidak menyukainya.

"Itu y—ya iya, betull. Tapi sayap dan sepatunya kan belum jadi," jawabku dengan senyuman. Aku yakin senyuman ini benar-benar terlihat kaku.

"Oalaahh, kirain gara-gara cemburu. Kalo iya sih nggak papa. Jujur aja, Leen " tanya Kak Fika. Bahkan, sekarang dia menatapku dalam dan tersenyum aneh.

Aku tidak suka senyumannya itu. Dia terkesan meremehkanku. Bibirnya menyungging senyum separuh seperti saat dia menuduhku pelakor. Apa maksudnya?

"It's nothing..." Aku berusaha tersenyum ramah.

Supaya tidak seperti direndahkan aku melanjutkan, "Aku sih santai. Soalnya bukan orang yang cemburuan, ya. Karena aku percaya sama Kak Drian," balasku dengan percaya diri sambil menoleh ke arah pacarku.

"Satu hal yang patut disyukuri adalah punya pacar kayak kamu." Dia tersenyum puas. Tak lupa mengelus pucuk kepalaku sayang seperti biasanya.

Aku memejamkan mata sambil tertawa kecil menikmati perlakuannya. "Be careful, sayang."

"What?"

"Ya, hati-hati!"

"Kenapa emangnya?" Kini wajahnya terlihat bingung. Salah satu alisnya tampak meninggi.

"Hati-hati di jalan. Kan biasanya kalo mau pergi orang bilang hati-hati! Mungkin ada gangguan atau ada yang berniat buruk seperti, pencuri atau... oh, copet!! Tapi kamu nggak sadar. Semoga terlindungi ya!" jawabku panjang lebar tanpa berpikir dua kali.

Tentu saja. Aku tengah menyindir Kak Fika. Gangguan dan niat buruk yang kumaksud adalah perempuan itu. Memang selain frekuensi bertemu Kak Adrian yang semakin sering, aku memperhatikan tanda-tanda lain.
Seperti postingan instastory-nya kebanyakan quotes yang intinya berisi tentang 'orang lama adalah pemenang,' 'pacaran belum tentu jadi jodoh,' 'teman tapi menikah.' Pokoknya setelah dicocoklogi itu mengarah kepada Kak Adrian dan menyindirku.

Before We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang