07

224 11 3
                                    

Satu bulan berlalu tanpa terasa, dan Eve sudah mulai terbiasa dengan posisi barunya sebagai wali kelas sementara. Selain sibuk mengajar, ia memutuskan untuk sesekali menjenguk Mikito-sensei dan memberi laporan singkat mengenai kelas juga para murid. Pria yang sudah berusia 65 tahun itu mengangguk-angguk puas sambil tersenyum lebar dan mengatakan akan menunggu Eve memberi laporan di minggu lain. Memeriksa jam tangannya, Eve menyiapkan catatan untuk mengajar dan merapatkan kursi mejanya. Berjalan keluar dari ruang guru, Eve yang belum melangkah jauh dari sana dikejutkan oleh sebuah tangan yang terjulur kearah tembok, sekaligus menghalangi jalannya.


"Halo, sensei! Bolehkah kami berkonsultasi sebentar?"


Menoleh kearah murid yang dua kali lebih tinggi darinya, Eve dengan wajah datar merunduk dan lanjut berjalan meninggalkan para murid yang kini terkekeh dibelakangnya.


"Katanya guru, kok, murid sendiri dicuekin? Guru macam apa itu?"


"Oi, gila kau!? Nanti nangis tanggung jawab, ya!"


Menghentikan langkah, Eve berbalik dan berujar sembari merogoh kantong celana. "Kembalilah ke kelas kalian sebelum aku yang menyeret kalian ke kelas."


Tiga murid itu berlagak bergidik lalu terkikik, jelas sekali meledek Eve. Sudah lama sekali sejak ia mendapat perlakukan tidak mengenakkan begini setelah sebelumnya fokus mengajar di kelas dua. Meski reputasi sekolah ini di luar sana bagus, namun karena senioritas yang melekat juga pengaruh buruk dari kebiasaan yang mengagungkan kasta keluarga, ada cukup banyak murid-murid yang bertingkah dengan menciptakan sebuah 'wilayah' dan menjadikan diri mereka bak penguasa. Sebab hal ini, penindasan menjadi hal yang bukan sekali dua kali terjadi. Bahkan tak hanya dialami seorang murid, guru pun juga bisa menjadi target. Namun, tidak ada bedanya dengan para murid, para guru pun juga memiliki hal yang serupa. Semakin tinggi jabatanmu, semakin besar peluangmu memegang kendali. Semakin rendah posisimu, luka yang didapat tidak hanya dari guru tapi juga dari siswa yang menganggap remeh.


Kadang Eve berpikir, apakah karena sekolah itu semakin besar maka bayangan kegelapan di dalamnya semakin banyak dan pekat?


Sesekali, Eve berharap ia bisa menjadi sosok yang ditakuti seperti Soraru. Atau memiliki lidah yang tajam seperti Urata. Ia tidak mungkin bisa memiliki pengaruh kuat seperti Shoose. Jadi yang bisa dirinya lakukan hanyalah mengandalkan para seniornya. Akan tetapi di masa lalu ia terlalu bergantung pada tiga seniornya itu dan menyadari jika dirinya tidak bisa melakukan apapun karena terlalu banyak pertimbangan.


Jika aku menghukum mereka terlalu keras, bagaimana? Jika nanti aku malah melukai mereka, bukankah aku akan melanggar peraturan sebagai guru? Haruskah aku meninggikan suara agar mereka mau mendengarkanku? Tapi bukankah membentak mereka itu tidak baik?


Setelah merenungi kesalahannya selama satu tahun penuh, Eve menemukan jawabannya.


Tiga murid yang semula masih menertawai Eve tiba-tiba tercekat oleh sepasang manik aqua dingin yang menyalang tajam pada mereka. Entah sejak kapan, ditangan pria itu sudah ada selembar kertas yang bertulis daftar drop out.


"Jika kalian sudah tidak tertarik masuk kelas, haruskan kucatat nama kalian dan kuserahkan ke kepala sekolah?" tanya Eve penuh penekanan. "Apa kalian bersedia?"

YOKU  ||  SouEveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang