Bagian 16

20.1K 1.2K 142
                                    

Pastikan baca sampai akhir chapter ini.
___________________________________________

Begitu mata Nana terpejam di tengah lumatan rakus dari pacar barunya itu, seketika bayangan sang kakak muncul dalam benaknya membuat Nana tersentak kaget dan langsung mendorong Hema untuk melepas pagutan bibir mereka.

"Hhh... hhh..." napas Nana terengah, hatinya gelisah entah mengapa.

Matanya juga bergerak resah, enggan untuk menatap lurus manik seseorang di hadapannya.

Hema hanya tersenyum tipis. Walau hanya lumatan yang terbilang singkat menurutnya, tapi ia sudah cukup puas bisa menikmati bibir Nana yang terasa manis dan lembut itu. Hema pastikan ia akan segera melumat kembali bibir itu sepuasnya sesegera mungkin.

Ia pun mengusap bibir Nana yang agak sedikit bengkak karena ulahnya itu, menghapus jejak liur dari ranum sang kekasih.

"Jangan nangis-nangis lagi ntar tambah Cantik." goda Hema mencubit gemas pipi Nana.

Nana merengut lucu mendengar gombalan itu, tangannya pun memukul pelan dada Hema membuat si pacar pertamanya tersebut tertawa kecil.

Tak lama dari itu, sebuah mobil yang mereka tau milik siapa berhenti tepat di depan posisi duduk mereka sekarang.

Jendral datang. Dan rahangnya kembali mengeras, geram merasa tak suka melihat Nana yang dirangkul oleh Hema. Tubuh keduanya terlalu menempel dan jelas Jendral sangat tak suka akan hal itu.

Ia langsung keluar dari mobil, mendekati adiknya dan dalam sekali gerakan, Jendral melepas paksa jaket Hema yang tadi membalut tubuh Nana.

Tanpa sepatah kata pun, Jendral tarik
tangan adiknya menuju ke mobil tanpa peduli Nana yang meringis kesakitan karena Jendral mencengkram terlalu kuat pergelangan tangan Nana.

Hema yang melihat hal tersebut pun tak tinggal diam. Ia mengejar langkah Jendral lalu melepas paksa cengkraman tangan sohibnya itu.

"Jangan kasar-kasar lah Jen, lo nyakitin Nana." kata Hema yang tampak tak suka dengan perlakuan Jendral kali ini.

Jendral semakin emosi. Ia menyentak kasar tangan Hema yang dengan beraninya mengusapi bekas merah di tangan sang adik.

"Bukan urusan lo. Nana adek gue, jadi terserah gue mau ngapain." geram Jendral.

Sempat Jendral lihat sang adik mengusap pergelangan tangannya sendiri yang nampak memerah.

Good Jendral. Setelah bikin adek lo nangis, sekarang lo malah nyakitin fisiknya. Maki Jendral dalam hatinya.

Setelah itu Jendral langsung menggiring Nana masuk ke mobil dengan pergerakan yang tak sekasar tadi.

Kehadiran Hema seolah tak tampak lagi di mata Jendral karena tanpa pamit dan segala macam, ia langsung melajukan mobilnya pergi dari sana.

Sepanjang perjalanan juga suasana di mobil begitu sunyi sepi.

Nana menahan isak tangisnya dengan mencengkram erat celananya sendiri. Ia lebih memilih untuk melihat ke luar jendela untuk menutupi mata sembabnya dari sang kakak.

Jendral sendiri pun tak jauh berbeda. Ia hanya diam memandang lurus ke depan berusaha fokus mengemudikan mobilnya meskipun masih memendam kesal dan amarah mengingat sang adik yang tampak begitu dekat dengan Hema.

Berani-beraninya Hema. Jendral terus memaki kesal dalam hati sampai tanpa sadar cengkramannya pada stir kemudi semakin kuat hingga buku-buku jarinya memutih pucat.

Sesampainya di rumah, Jendral langsung mendudukkan Nana di sofa.

Nana hanya menurut karena tubuhnya sudah lemas tak mampu untuk melawan sang kakak. Ia masih sedih, Nana masih sakit hati karena dalam pemikirannya tertanam kalau Jendral dan Arin kembali bersama dan akan meninggalkan dirinya.

Mas Jendral |[NOMIN]| {END} ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang