Bonus Chapter 03

13K 716 33
                                    

Perasaan ragu kini mulai hinggap di hati Jendral.

Ia ragu apakah setelah ini Jendral masih berani meminta Nana untuk hamil lagi di kedepannya bila Jendral tau ternyata proses menuju tahap melahirkan akan terlihat sesakit ini.

Untung Jendral hanya ada jadwal di pagi hari di 1 kelas saja, saat tiba-tiba ada panggilan masuk dari rumah dan ART mereka mengatakan kalau Nana sudah mulai kontraksi.

Jelas saja Jendral langsung mengakhiri kuliahnya lebih awal dan bergegas pulang ke rumah.

Sampainya di rumah, ia langsung disambut rintihan kesakitan Nana yang sedang terbaring di sofa sambil memegang perut buncitnya.

"Sakit Mas-nggh... sakithh..."

Getar terasa saat suara lembut manja favorit Jendral tengah menahan sakit sambil meremas baju suaminya. Tanpa menunda lagi Jendral langsung menggendongnya menuju mobil untuk ke rumah sakit tempat dokter Juan praktek.

Dan sekarang sudah 8 jam berlalu dokter tersebut mengatakan kalau Nana masih pembukaan 7, belum waktunya untuk mengeluarkan bayi mereka padahal Jendral tau Nana sudah terus-terusan meringis kesakitan.

Tadi Jendral juga sudah menuntun Nana untuk berjalan di dalam ruang rawatnya atas saran dokter Juan. Walau tertatih-tatih tapi Jendral melihat istrinya yang tetap mengikuti anjuran si dokter untuk mengalihkan sakitnya sekaligus untuk mempercepat pembukaan jalan lahir.

Lagi-lagi di sinilah momen Jendral sadar kalau istri kecil-nya sudah jauh berubah. Sifat manja kesukaan Jendral memang masih melekat di diri Nana, tapi seiring dengan itu pula sang istri menunjukkan perkembangan karakternya menuju dewasa, berusaha terlihat kuat padahal Jendral tau Nana sedang amat kesakitan sekarang.

Beberapa jam lalu saat ketubannya pecah pun Nana hanya menangis pelan sambil menggumamkan nama Jendral. Jendral berusaha tak panik karena dokter Juan juga sudah mengatakan bahwa untuk sekarang yang Nana perlukan hanya semangat dan kekuatan dari suaminya, jadi Jendral harus kuat.

Beberapa kali sang istri bilang kalau anak mereka terasa bergerak turun seperti mendesak keluar dan saat itu pula Nana meringis sakit. Kontraksinya datang semakin intens. Keringat tiada henti keluar membasahi dahi dan pelipisnya serta tangannya yang semakin kuat menggenggam tangan Jendral berusaha untuk tidak mengejan karena memang belum waktunya.

Dan karena Nana sudah merasa tidak kuat berjalan lagi, Jendral akhirnya membawa Nana berbaring kembali di ranjang rumah sakit itu.

Si suami memilih duduk di sebelah ranjang Nana sambil menghapus air mata sang istri yang sempat jatuh beberapa kali. Pelipisnya yang basah itu Jendral beri kecupan-kecupan lembut sambil satu tangannya masih setia menggenggam jemari istrinya, menyalurkan kekuatan agar Nana bertahan sedikit lagi.

Sesungguhnya sejak awal Jendral juga ingin ikut menangis. Ia sungguh tak sampai hati melihat Nana yang kesakitan seperti ini. Bahkan waktu dulu jemari halus Nana tergores pisau saja ia sudah khawatir bukan main, apalagi saat ini. Rasanya mental Jendral sungguh diuji.

Nana yang merasa tak nyaman berbaring telentang, perlahan memiringkan tubuhnya dan Jendral yang sigap pun langsung membantu dengan hati-hati.

"Nghh... Mas, mau peluk sambil usap-Sshh...  usapin perutnya.." pinta Nana masih terus meringis.

Sejujurnya Jendral sudah lebih dulu berpikir untuk memeluk Nana sambil mengusap perutnya, tapi karena ia pikir Nana bisa saja tidak nyaman tampak dari tubuhnya yang terus bergerak gelisah makannya Jendral urung dan hanya diam.

Tetapi karena istri-nya sendiri yang sudah meminta langsung, maka Jendral pun bergegas menurutinya.

Jendral segera naik mengambil posisi berbaring di belakang Nana. Tangan kirinya ia jadikan bantal untuk kepala si Cantik sedangkan tangan kanannya mengusap-usap perut besar itu.

Mas Jendral |[NOMIN]| {END} ✅️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang