Anecdotes 3: Siren's Song

217 14 0
                                    

Sumber: love and deepspace

.

.

.

#01 Cliffhanger

Maverick akhirnya tiba di pantai. Siren yang menipunya duduk di atas batu. Dia berbalik, tersenyum di tengah ombak yang terfragmentasi.

Garis keturunannya yang bertahan selama 100 tahun telah berakhir, lambang keluarganya berlumuran darah orang-orang terkasih. Siren yang bertanggung jawab atas ini semua. Dia menyayangi siren itu, namun siren justru menggali hati mereka dengan tangannya sendiri. Dia mengarungi perairan dangkal dan memanjat bebatuan. Tangannya penuh bekas luka.

Tangan berdarah ini pernah mengusap wajah gadis itu dengan lembut membelai wajahnya yang terpahat indah.

Tapi cintanya adalah jaring yang dijalin dengan kebohongan.

Air laut membasahi pakaian Maverick sambil perlahan membuka mulutnya, menyanyikan lagu cinta yang merdu untuk mantan kekasihnya. Itu adalah lagu yang pernah dia ajarkan padanya, sebuah balada siren.

Suaranya berfluktuasi dari jauh di bawah ombak hingga membubung tinggi di atas langit, dari matahari terbenam hingga bulan terbit, dari air pasang hingga air surut.

Dia bernyanyi dengan penuh semangat sehingga bahkan Siren pun terpikat oleh suaranya yang mempesona. Selangkah demi selangkah dia mendekatinya, membelai noda darah di wajahnya yang belum hilang. Dia memeluknya, berbisik lembut di telinganya saat dia mengungkapkan belati tersembunyi di lengan bajunya. Dia memasukkannya ke dalam hatinya saat lagu mencapai klimaksnya.

Tirai merah tua turun bagaikan aliran darah, gema balada yang tersisa bergema di dalam gedung opera yang luas.

Di atas panggung, pria yang memerankan Maverick membungkuk dengan anggun, matanya yang redup tersembunyi di balik topeng.

Baru pada saat itulah penonton terbangun dari melodi yang mempesona, dan disambut dengan tepuk tangan meriah.

"Dia pasti akan menjadi bintang baru di dunia opera, seorang anak ajaib..."

"Aku sudah membuat judulnya!
Sebut saja Kebangkitan Suara Siren: Pertunjukan HUT ke-10 Royal Opera House!"

Saat semua orang menghujaninya dengan pujian yang tak ada habisnya, sebuah jeritan terdengar menusuk seperti pecah kubah kaca bangunan bagaikan cakar yang merobek jubah megah.

"Tuan Fallon... Di-Dia.. dia sudah mati!"

Di balik tirai, Rafayel bersandar di pintu belakang panggung, menutup hiruk pikuk.

Dia menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Akhirnya dia bisa menjadi dirinya sendiri. Rasa sakit yang membakar berdenyut di tenggorokannya, berdenyut seiring dengan detak jantungnya, dengan cepat menstimulasi sarafnya.

Saat dia menyentuh jakunnya, dia mengeluarkan dasi baru dari tas kulitnya, kain satin halus terjalin di antara jari-jarinya. Tekstur dingin perlahan menyelimuti lehernya. Ini seperti menyarungkan sebuah pisau.

Panggungnya dihiasi karpet beludru yang melambangkan laut. Sepatu kulitnya menginjaknya, menyerap semua kebisingan di latar belakang.

Pertunjukan ini masih jauh dari selesai.

"Mohon perhatiannya! Personel yang tidak penting, harap segera dievakuasi!"

Sebagai seorang detektif swasta terkenal dari sebuah bisnis lokal milik keluarga terkemuka, Louis juga menerima undangan untuk pertunjukan malam ini dan sekarang melawan kerumunan yang panik.

Rafayel's momentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang