Forgotten Sea (7)

71 9 5
                                    

"Kamu...! Aku...!"

Aku terbatuk-batuk sebelum bisa menyelesaikan perkataanku.

"Kamu... Kamu seharusnya...! Setidaknya katakan sesuatu sebelum itu..."

"Jika aku melakukannya, ciuman terakhirmu akan diberikan kepada Dewa Laut generasi ini. Juga, perhatikan apa yang dilakukan lengan dan kaki mu."

Sesaat aku tersadar. Rupanya aku berada dalam pelukan Rafayel, seperti kelomang yang menemukan cangkang baru.

"...Aku minta maaf. Aku meninggalkan bekas di lenganmu lagi."

"Aku tidak keberatan. Ulurkan tanganmu."

Rafayel melemparkan topengku ke laut, meraih tanganku dan membantuku berdiri.

Tubuhku tiba-tiba terasa ringan, kakiku mendarat di permukaan air yang beriak. Aku mampu berdiri di Samudera, stabil seperti di darat.

Dalam warna biru tanpa batas, dia membawaku ke cakrawala. Di belakang kami, pulau-pulau menyatu dengan bayangan matahari terbenam.

Dia memberi isyarat agar ombak bermekaran di bawah kakiku, buih laut muncul di setiap langkah yang kuambil.

Ikan berenang. Burung camar putih berputar-putar di atas kepala dan bernyanyi sambil hinggap di bahuku.

".... "

"Kita sudah berusaha keras untuk melihat matahari terbit. Kenapa kamu diam?" Tanyanya

"Bukan, itu... Aku... Aku belum pernah melihat yang seindah ini seumur hidupku."

Aku menyuruh Rafayel duduk. Kubiarkan kakiku menyentuh deburan ombak. Ikan-ikan penasaran berputar-putar di sekitar kami.

Rafayel mengangkat alisnya. Dia menyodok ikan yang melompat keluar dari air.

"Sebagai seorang anak muda, hidupku tidak berbeda dengan hidupmu. Ramalan tersebut menyatakan bahwa Lemuria hanya memiliki satu Dewa Laut yang tersisa.

Pendahuluku meninggal dunia, dan mereka menemukanku bertahun-tahun kemudian, bermandikan api di bawah persatuan senja dan fajar.

Laut Dalam berbahaya. Hanya yang kuat yang bertahan...

Inilah sebabnya aku hanya bisa pergi sejauh permukaan laut."

"Apakah... kamu bahagia? Pernahkah kamu berpikir untuk bepergian ke tempat lain?" Aku menyentuh jari-jarinya, tatapanku bertemu dengannya.

"Menurutmu siapa yang membuat lubang di belakang kampus itu?" Tanyanya balik

".... "

"Oh, Matahari terbit!" Ucapnya

Matahari menerobos lapisan demi lapisan awan.

Dia menengadah ke langit, mengamati laut berkilauan di bawah sinarnya.

"Kamu benar."

.

.

Banyak bulan telah berlalu sejak pertemuan terakhir kami ke permukaan.

Laut Dalam menjadi rumah keduaku. Aku terbiasa hidup di bawah air atau lebih tepatnya di Kota Whalefall.

Pada malam sebelum Upacara Dewa Laut, saat semua orang tertidur, Rafayel membawaku ke Kuil. Berdenyut dengan ritme yang stabil di belakang kami, nyala api menyala.

"Saat api padam besok, ramalan Lemurian baru akan muncul di Buku Besar Dewa Laut dan ketika apinya menyala kembali maka Upacara pun berakhir." Ujarnya sembari menatap kejauhan.

"Jelaskan padaku apa yang dilakukan dalam Upacara Dewa Laut yang sebenarnya." Pintaku

"Kita duduk di singgasana ilahi-Ku yang dihiasi kerang dan mutiara. Seratus kepiting emas akan membawa kita dalam perjalanan ke setiap bagian Laut Dalam."

"Itu terdengar bagus. Tapi bukankah semua orang akan kesal?"

"Memang. Aku akan melewatkan bagian pertama Upacara. Itu hanya omong kosong belaka." Dia menjeda ucapannya dan menoleh padaku.

"Aku memang tidak tahu detail Upacaranya..." Rafayel menatapku. Jari-jarinya membelai rambut dan pipiku. "Tapi itu tidak akan seperti perayaan di permukaan darat. Setiap pesertanya akan diberkati oleh Lautan."

"Akankah aku menerima berkatmu?" Tanyaku

"Keberkahan besok akan menjadi milik semua orang. Tapi berkat ini hanyalah milikmu sekarang." Jawab Rafayel

Dia melakukan sesuatu di telapak tangannya. Seekor ikan kecil biru yang pernah kulihat berenang-renang disana, begitu Rafayel menutupnya sebuah sisik biru yang indah menggantikannya. "Ini adalah utusan sejati Dewa Laut. Dengan kehadirannya di sisimu, kamu tidak perlu takut akan bahaya apapun yang menghadapimu."

Sisik itu dijadikan sebuah kalung. Sebelum aku mengatakan apapun, Rafayel mengalungkannya padaku.

Kami terdiam sejenak dan saling menatap. Mengunci pandangan satu sama lain tanpa saling berkata. Hingga..

"...Aku juga memiliki sebuah pertanyaan. Ini adalah hal yang sangat, sangat penting."

Memajukan tubuhnya. Rafayel membuat wajah kami lebih dekat.. "Apa kamu bersedia menjadi pengikutku?" Tanyanya lembut

"Menginginkan pemujaan yang tulus terhadap manusia... Kamu harus mempersembahkan benda yang tak tergantikan." Kataku

Rafayel mengambil tanganku. Dia menempatkannya di dada kirinya.

"Hati Dewa Laut, hatiku. Apakah kamu menginginkannya?"

Kami bersandar lebih dekat satu sama lain. Nyala api di kuil berkedip-kedip, seolah-olah terbangun karena terkejut. Bayangan di dinding bergetar dan menggigil ketakutan.

Beberapa saat kemudian, itu kembali normal.

.

.

Bersiap semakin dekat ke tragedi 🙂

Rafayel's momentsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang