Part 7. Risi?

117 11 4
                                        

Keya bangun pagi dalam kondisi optimal setelah semalaman tidak ada yang mengusiknya atau sesuatu yang bisa saja membangunkan Keya secara mendadak. Hampir tidak percaya tadi malam dia bagai burung sekarat mengeluh pada sosok yang bagitu khawatir.

Tangan terangkat meregangkan tubuh tanpa suara tulang atau mulut. Beberapa saat Keya melamun tengkurap kepala di hadapkan ke samping, detik itu Keya menemukan jaket yang lagi-lagi lupa ia kembalikan. Wajah menjadi merah padam, apa yang Maigcal pikirkan semalam ketika Keya memakai jaketnya sepanjang hari?

"Kotor enggak, ya?" gumam Keya, dia hendak mengembalikan mengingat jaket itu adalah pemberian paman Sihen.

Ketukan halus mengalihkan atensi, seorang wanita yang tampak lebih muda dari usianya berdiri di ambang pintu. "Cepat mandi, Keya, waktunya sarapan dan berangkat sekolah."

"Iya, Ma."

Terlebih dahulu kaki Keya menyentuh lantai dingin, meninggalkan tempat tidur dengan gerakan halus. Rosa memandangi anaknya sampai hilang di balik pintu kamar mandi. Reaksi santai Rosa menunjukkan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari gadis yang pulang dalam kondisi buruk tadi malam.

Kini semua duduk menghadap meja yang sama, menikmati makanan seperti hari-hari biasanya. Ada apa ini? Padahal Keya sudah siap disidang, ia yakin Maigcal mengantar Keya pulang bahkan Keya bangun pun hari sudah pagi--membuktikan Maigcal pasti menggendong Keya sampai ke dalam kamar. Papanya tidak mungkin menggendong Keya, kalau pun benar Keya pasti terbangun oleh guncangan.

"Semalam... Papa Mama enggak marah?" Akhirnya Keya yang menyinggung, dia tidak tenang sebelum mengetahui emosi sebenarnya dari papa dan mamanya.

Claire berhenti mengaduk-aduk makanan, menajamkan telinga sebab dia juga bingung kenapa orang tuanya pagi ini diam saja, padahal jelas-jelas Keya pulang malam serta bersama laki-laki.

Ruslan menenggak air, setiap pergerakkan laki-laki tua itu diperhatikan saksama sehingga membuat waktu terasa lambat. Lantas dia menatap Keya, wajah datar tanpa kemarahan. "Laki-laki itu sudah menjelaskan. Dia meminta maaf telah membuatmu pulang malam, juga menyesal akan kondisimu."

Keya menahan napas, debaran jantung bisa ia dengar berdentum lebih keras memekakkan telinga. "Te-terus?" cicit Keya menanti.

"Tidak ada. Setelah itu dia pamit pulang."

"Papa tidak marah?" sambung Claire. Sulit dipercaya reaksi papanya akan seperti itu. Ke mana perginya sosok tegas yang membatasi putri-putrinya? Mungkin ada arwah lain yang masuk ke dalam tubuh Ruslan sekarang.

***

Mesin mobil terdengar di halaman hijau dan ubin beton sebagai akses jalan. Ruslan berada di balik kemudi, berniat mengantar Keya ke sekolah di pagi buta ini. Padahal Keya sudah menolak, naik kereta akan lebih cepat mengingat jarak sekolah sangat jauh.

"Aku tidak apa-apa naik kereta, Pa."

"Naiklah cepat, Keya, atau kau akan terlambat." Sepertinya Ruslan tidak ingin dibantah.

Keya mengangkat tengan melihat jam, sudah pukul setengah tujuh sementara kelas dimulai jam delapan. Tersisa satu jam setengah lagi. Naik kereta hanya butuh 20 menit, berjalan dari rumah ke stasiun 25 menit, stasiun ke sekolah 15 meniti, total 60 menit. Sementara naik mobil butuh setidaknya 85 menit--hanya tersisa 5 menit sebelum masuk kelas, singkat sekali.

"Kenapa sih sekolahnya harus jauh banget," tanya Keya pada papanya yang tengah menyetir.

"Tentu karena sekolah itu bagus dibandingkan sekolah lain."

"Papa tumben banget mau antar aku. Enggak terlambat kerja?"

"Kebetulan papa ada pertemuan di daerah itu."

The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang