32. Berita buruk.

44 8 2
                                    

[Kecelakaan pertunjukkan sulap berbahaya.]

Keya menyipit membaca judul berita di TV, masih duduk santai berbaring miring di sofa panjang sambil makan cemilan asin. Dia mendengarkan prasenter berbicara, melihat lokasi kejadian yang berantakan akibat panik di sebuah tenda circus.

Saat mereka menampilkan foto di layar, Keya langsung terduduk tegap. Cemilan yang ia pegang jatuh berserakan di karpet bulu, Keya bernapas sesak.

"Pa-Paman Sihen!" Tubuh Keya gemetar, sampai beberapa saat kemudian dia bergerak cepat keluar dari kamar, turun dari tangga tidak berhati-hati.

Dia hampir di dekat pintu sebelum suara Rosa terdengar tegas.

"Kau mau ke mana, Keya?"

Keya berhenti menoleh sembari menitikkan air mata. Rosa terkejut, apa yang membuat Keya terburu-buru lalu menangis seperti itu.

"Ma, aku mau keluar. Pamannya Maigcal kecelakaan!" Keya mengadu histeris, mengeluarkan suara isak tak terbendung. Satu-satunya keluarga yang Maigcal punya ... mungkin itu yang membuat Keya sedih.

Keya memikirkan Maigcal.

"Sudah jam sebelas, papamu tidak akan marah besar, apalagi setelah kejadian Claire."

"Papa percaya sama Maigcal!"

"Masuk ke kamarmu, Keya, tidur."

Keya menggeram mengeratkan kepalan tangan lalu mundur sampai punggungnya menyentuh pintu. "Maaf, Ma." Keya cepat berbalik badan lantas berlari kencang.

"Keya!"

Suaranya diabaikan, Keya tenggelam dalam kegelapan, gadis itu hanya berlari tanpa pikiran yang jernih. Dia tidak menggunakan kendaraan, berapa lama dia akan berlari? Jalan komplek sepi, tetapi setelah mencapai jalanan ada banyak kendaraan berlalu lalang.

"Berhenti!" Keya menghentikan seorang bapak-bapak tua bersepeda, ketika berhenti Keya menarik bapak itu turun untuk ia ambil sepedanya. "Aku pinjam sebentar, besok aku kembalikan di sini!" Keya berucap setelah dia mengayuh sepeda itu.

Keya tidak punya pilihan, dia terlalu takut menghentikan mobil atau pun motor. Bapak yang menjadi korban begal seorang gadis memakai piama pendek, membeku di tempat mencerna pristiwa barusan.

Sampai di rumah sakit, Keya bertanya pada suster di mana ruangan pasien seorang pesulap. Selepas itu langkah kaki telanjangnya membelah koridor. Keya berhenti setelah melihat Maigcal duduk di kursi tunggu, saling pandang, napas Keya tidak beraturan.

"Pa-Paman?"

"Masih dalam penanganan." Walau tampak tenang, pucat wajah Maigcal melebihi Keya. Jelas dia lebih khawatir dari pada siapa pun.

Keya berjalan pelan, duduk sedikit berjauhan dari sebelah Maigcal. Mereka senyap, masing-masing berdoa yang terbaik untuk paman Sihen.

Dokter keluar membuka pintu, dia memandang kedua anak muda bergantian. Maigcal dan Keya berdiri mendekati dokter.

"Kami tidak bisa berbuat lebih. Selagi ada waktu, temui dia."

Kebar buruk keluar dari mulut dokter, meleburkan sisa-sisa harapan yang tersisa. Mereka masuk ke dalam tanpa menuntut hal mustahil pada dokter. Kenyataannya Paman Sihen masih bertahan sampai sekarang saja sudah merupakan sebuah keajaiban.

Ada banyak peluru yang melubanginya, pertunjukan berbahaya yang dilakukan Paman Sihen adalah membiarkan 10 penembak menembaknya. Dia akan berlindung di kertas koran yang lebar, tetapi pertunjukan itu gagal. Semua peluru menembus koran.

"Paman," panggil Keya lirih menggenggam tangannya. Sihen berkedip pelan, melirik Keya dan Maigcal di sisi yang sama.

Sihen menatap Maigcal lama, dia berusaha berbicara melalui ekspresi sebab dia tidak punya tenaga mengeluarkan suara. Tapi ia yakin Maigcal mengerti, karena salah satu keahlian Maigcal pandai membaca pikiran orang hanya dengan melihatnya.

'Kau tidak sendiri, Nak. Keya bersamamu.'

Maigcal mengangguk, air matanya jatuh tanpa berkedip. Lantas dia menggenggam tangan Sihen di atas tangan Keya. Sihen tersenyum bahagia, dia bertahan sampai detik ini sebab takut meninggalkan Maigcal sendiri. Tetapi ... dia tenang sekarang, ada Keya yang mau menangis bersama Maigcal di sini. Sihen melihat mereka dengan mata kepala sendiri.

'Keya, jangan tinggalkan Maigcal.' Sihen berharap Keya mendengar suaranya, tetapi tidak, gadis itu memandangnya dengan mata basah. Mereka baru beberapa kali bertemu, Keya sudah menganggapnya sangat berarti karena dia adalah satu-satunya keluarga Maigcal.

"Paman, masakan Paman enak sekali. Aku berjanji akan belajar masak sepertimu, Paman." Ucapan Keya memberi kekuatan untuk ia sedikit menganggukkan kepala.

Sihen kembali melirik Maigcal lama, dia akan tersenyum sebelum pergi selamanya. 'Maafkan aku, Maigcal.' Setelah itu pandangannya mulai menghilang, suara panggilan Keya juga tidak dapat ia dengar lagi.

Sihen mencapai batasnya, dia meninggal.

'Terima kasih, Paman.' Maigcal mendongak ke atas, menahan air matanya untuk berhenti menangis. Paman sudah memberikan senyum terakhirnya, maka Maigcal harus tetap tegar sampai pamannya selesai dimakamkan.

Tidak bisa, air matanya tidak mau berhenti keluar, ini diluar kendali Maigcal. Lantas dia memutuskan melihat wajah Paman Sihen lebih lama karena dia tidak akan pernah melihatnya lagi. Di antara Maigcal dan Keya yang pucat, tidak bisa dibandingkan dengan pucat Paman Sihen.

Maigcal menarik tangannya dari atas tangan Keya, tubuh gadis itu gemetar menahan suara yang ingin sekali lepas. Maigcal melepaskan jaket merahnya, menyematkan di bahu telanjang Keya.

'Gadis ini ... dia keluar tanpa memedulikan pakaiannya.'

***

Tumpukan tanah ditaburi mawar menjadi tempat bagi dua anak muda menghadap. Tidak banyak orang yang hadir, pun mereka semua sudah pergi. Keya di sini berjongkok di samping Maigcal, memperhatikan laki-laki itu yang sejak tadi termenung menatap gundukan tanah.

Tangan Keya mulai sengal memegang gagang payung terlalu erat, dia juga memayungi Maigcal sehingga dia enggan meninggalkannya.

"Kalau mau pulang, pulang saja," tutur Maigcal tiba-tiba.

"K-kau juga ayo pulang. Matahari sangat terik, nanti kau demam, ditambah semalaman enggak tidur ... pasti kelelahan."

Maigcal menoleh, membuat Keya tersentak karena jarak mereka begitu dekat.

"Aku baik-baik saja, justru kau yang dalam masalah. Pulanglah."

"Tapi-"

"Jika kau pingsan sekarang, siapa yang akan repot?"

Perkataan Maigcal agak menusuk, tapi dia benar. Keya pelan-pelan berdiri, menunduk melihat Maigcal masih betah di posisi jongkok. Keya menarik napas pelan, sepertinya dia harus memberikan Maigcal ruang untuk sendiri.

"Kalau begitu aku pulang."

Tubuhnya capek, mata juga perih bergadang semalaman menemani dan membantu Maigcal mengurus pemakaman. Sebelum melangkah lebih jauh, sekali lagi Keya menoleh ke belakang. Bersimpati pada Maigcal yang sekarang tidak punya keluarga lagi. Kasihan, tetapi Maigcal laki-laki kuat dan cerdas, dia pasti tahu cara mengendalikan diri.

Jika saja Keya berada di posisinya ... entah bagaimana cara Keya bangkit.

"Maigcal," lirih Keya, rasanya berat meninggalkan laki-laki itu sendiri. Maigcal seperti ingin bersandar pada sesuatu, namun dia memilih menguatkan pijakannya.

Atau karena dia tidak memiliki sandaran?

Keya kembali ke rumah sakit, mengambil sepeda yang ia curi tadi malam. Akan Keya kembalikan. Namun Keya lupa jika dia melayat hanya memakai baju tidur dilapisi jaket merah Maigcal. Sampai sekarang dia memakainya.

Di rumah, Rosa menepuk jidatnya, wanita itu menyadarkan Keya atas penampilannya yang tidak sopan untuk acara pemakaman.

"Astaga!" ringis Rosa frustrasi.

"A-aku lupa, Ma. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku memakai jaket ini."

Bersambung....













The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang