Bohong, Claire bilang rasa sakitnya tidak sesakit saat memendam rasa setelah jujur. Lalu apa ini? Sedikitpun Keya tidak merasa baik, bahkan lantai yang ia pijak seperti berjalan di kubangan lumpur sekaligus dihantam hujan yang terus menampar keras wajahnya.
"Selamat pagi, Keya." Mary menghampiri, berjalan beriringan di sebelah Keya.
"Pagi, Mary." Keya menoleh, tersenyum kaku berusaha terlihat tegar.
Mary mengernyit, menyadari kulit Keya lebih pucat dan dingin. Gerak lesu, dan lipatan bawah mata. Jelas ada sesuatu tidak beres. "Kau menangis berapa lama?"
"Menangis? Siapa yang menangis?" Keya berjalan cepat, menjauhi Mary dengan berbelok ke arah lain. Saat ini dia tidak ingin berbagi cerita, tidak untuk siapa pun. Itu seperti mengorek luka tanpa penyelesaian, karena pada akhirnya tidak ada yang bisa membantu.
"Jangan bilang kau rindu Maigcal?!" pekik Mary di belakang. Reaksi bahu tersentak Keya membuat Mary berpikir apa yang ia sebutkan adalah kebenaran. Lantas tertawa puas. "Astaga, padahal baru semalam dia pergi."
Keya menghilang di belokan entah ke mana tujuan gadis itu. Mary menggeleng-gelengkan kepala, terkikk kecil seorang diri.
"Aku rasa mereka bertengkar." Izkil menyahut di belakang Mary, menjadi satu-satunya orang yang tidak mengejek Keya di koridor ini. Walau tidak tahu apa masalah Keya dan Maigcal, tapi dia yakin sekali.
Mary berputar badan, melupat tangan di dada bergaya angkuh. "Kenapa kau berpikir begitu?" Sebelah alisnya terangkat, sebenarnya Mary tidak begitu memperhatikan intraksi buruk temannya belakang hari ini. Dia lihat Maigcal seperti pacat yang selalu menempel pada Keya, itu pemandangan bagus bagi Mary. Namun dia tidak menilai bagaimana cara Keya menjauhi diri.
"Maigcal aneh, Keya aneh. Lingkaran mata Keya pagi ini membuktikan dia menangis semalaman."
"Itu karena dia-"
"Tidak mungkin kerena rindu. Itu terlalu cepat bagi orang yang berpisah baru beberapa jam." Izkil melirik Mary dari ujung matanya. "Kau hiburlah Keya tanpa perlu menanyakan masalahnya. Mungkin bisa sedikit membantu.
Awalnya Mary tak ingin percaya pada Izkil yang berucap sok bijak--sama sekali tidak seperti Izkil. Namun setelah beberapa hari dilewati, Keya tampak tidak pernah melirik bangku kosong yang ditempati Maigcal. Itu bukan ciri-ciri orang yang sedih karena rindu.
Sepertinya tidak hanya Izkil yang sadar lebih dulu, beberapa hari ini Mary juga melihat Barly menatap punggung Keya dengan tatapan iba. Si muka datar itu? Bisa menunjukkan ekspresi kasihan? Memang sepertinya ada masalah sampai Pangeran Es pun memberi perhatian.
"Keya, pokoknya hari ini kau temani aku makan di kantin." Mary datang melimpat ke dekat Keya, menggenggam tangan gadis itu yang berada di atas meja.
"Tidak, aku di kelas saja."
"Ayolah, aku lihat kau semakin kurus."
Mary menarik tangan Keya, memaksanya untuk keluar dari lamunan tidak berguna. Mary akan menjadi gadis berisik agar tidak dapat memberi Keya waktu untuk melamun. Setidaknya waktu istirahat ini ia makan dengan baik, tidak seperti kemarin.
Tentu Mary hanya dapat membantu ketika jam istirahat saja, ketika pelajaran di mulai Mary tidak bisa menjadi berisik lagi. Pun Izkin yang duduk di sebelah Keya tidak dapat berbuat banyak, bagaimana caranya mengobrol ketika guru tepat di depan mereka?
***
Keya berhenti melangkah sebab jalannya di hadang oleh Barly. Untuk pertama kali setelah sekian lama mereka berdua menatap satu sama lain; mata vs mata, berjarak satu meter saling berhadapan.
"Ini bukan seperti dirimu Keya." Barly meju mempersempit jarak menjadi dua jengkal. Ia tatap lekat binar sendi dari gadis bermartabat tinggi sebelumnya. Ya sebelumnya, karena sekarang Keya hanya gadis menyedihkan pendamba cinta.
"Ke mana 'harga diri' yang kau sebutkan padaku dulu?" Barly menekan kata kramat yang pernah membuat dia jangan serta jenuh. "Aku benar-benar kalah dengan Maigcal, harusnya aku bersujud di kaki Maigcal." Barly tertawa ringan, itu seperti sindiran tajam.
"A-apa maksudmu?" Keya menatap nanar, merasa terpukul oleh kenyataan menghina.
Barly maju satu langkah lagi, kini dia begitu dekat sampai dia harus menunduk dan mendongakkan kepala gadis pendek agar bisa menatap wajahnya, sebelum tangan Barly ditepis oleh Keya karena berani memegang dagunya seakan ingin mencium.
"Apa yang kau lakukan?!" Keya mundur terancam, dadanya sesak bagai habis berlari mengelilingi lapangan bola.
"Seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa yang kau lakukan, Keya? Saat putus denganku kau tidak seburuk ini." Lalu Barly bertepuk tangan meriah. "Makanya aku mengakui kalah dari Maigcal, karena Maigcal berhasil meruntuhkan harga dirimu."
Keya tersentak, jantung berdebar keras menolak perkataan Barly. Tapi benarkah begitu? Keya tidak tahu harga diri akan jatuh hanya karena menyukai seseorang. Omong kosong! Ucapan Barly tidak masuk akal.
"Aku melihat kalian." Barly bersandar di dinding. "Melihatmu ditolak oleh Maigcal sebelum dia berangkat."
Keya menunduk, meremat ujung rok sampai melukai telapak tangannya oleh kuku tajam. "Apa aku terlihat menyedihkan?"
"Saat itu tidak. Tapi saat ini ... iya. Jika Maigcal melihat kau semakin kurus gara-gara ditolak olehnya, aku yakin dia akan tertawa bangga. Seorang Keya berhasil ia taklukkan dan hancurkan."
"Maigcal akan tertawa?" Keya bergumam kecil, tidak dapat membayangkan wajah Maigcal sekejam itu.
"Lupakanlah. Seperti kau dengan mudah mulupakan aku." Barly berbalik badan, mengantongi tangan lantas melangkah pergi. "Aku harap kau masih ingat caranya," ucap Barly yang masih terdengar di telinga Keya.
Apa Barly mencoba menyemangati Keya? Dia sampai repot-repot menceramahi orang, merupakan salah satu kebaikan hati Barly yang langka.
"Aku sedang mencobanya, tapi terima kasih, mantan."
Keya menatap punggung yang semakin jauh itu, menatap sampai tidak terlihat lagi. Lantas dia beranjak menuju jendela, melihat bagaimana awan besar menutupi matahari seakan memberikan Keya kesempatan untuk berjalan tanpa payung.
Mungkin jika digambarkan sekarang; Maigcal adalah matahari yang menyakitkan itu, lalu Barly mencoba menjadi awan membantu Keya melangkah ringan dan tersenyum memperlihatkan wajah cantiknya pada dunia.
"Aku sedang berusaha, harga diriku sangat tinggi. Aku tidak akan melupakan pedoman itu."
Keya tertawa, bukan tawa yang menyenangkan. Dia tengah berusaha mengobati diri sendiri, mengingat kembali ajaran papa tentang harga diri. Cantik, berasal dari keluarga kaya turun-temurun, memegang warisan besar. Dengan semua itu Kaya diajarkan untuk angkuh, tidak tunduk pada siapa pun.
Bagaimana dia lupa akan hal itu?
Hancur dan menangis karena ditolak. Nenek moyangnya akan menutup wajah jika melihat keturunan mereka seperti ini.
"Aku bisa membeli laki-laki yang lebih tampan dari Maigcal nanti. Lihat saja kau, Maigcal!"
"Aku bukan Claire, jika aku Claire maka kejayaan keluarga kami selanjutnya akan hancur." Dia terus bergumam, membanggakan latar belakang bangsawan dirinya. Seharusnya pesulap konyol menjadi penghibur si nona yang tengah jenuh, ya, begitulah seharusnya.
Keya harus tertawa anggun, bukan menangis oleh pertunjukkan si badut pesulap.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Key to Magic
Teen FictionKeajaiban? Itu tanggapan Keya ketika melihat pesulap semasa kecil. Setelah tumbuh besar Keya tidak sengaja bertemu Maigcal Magic, nama populer sebagai buronan yang mencuri menggunakan trik sulap tak masuk akal. Bagaimana kisah mereka? Akankah Keya...