Keya memandang sendu kursi yang telah kosong tiga hari ini, Maigcal tidak masuk sejak hari pemakaman lalu hingga kini. Semua orang memaklumi, Maigcal pasti sangat terpukul oleh kepergian pamannya.
"Berhentilah menjauhi Maigcal." Izkil tiba-tiba berucap, memandang serius Keya tidak seperti dia biasanya.
Keya sedikit tersentak, napasnya tercekat dalam kebingungan tiada akhir. Dia menoleh ke arah lain, berpura-pura tidak mendengar suara Izkil. Memang terkesan jahat dia tidak membayar hutangnya pada saat ini, padahal Maigcal dalam kondisi yang buruk.
Kembali lagi, Keya mencoba untuk tidak menyakiti diri sendiri.
Izkil menghela napas berat. "Maigcal selalu ada untukmu, saat kau butuh atau tidak. Bagaimana denganmu?"
Sindiran itu seperti batu besar menghantam keras kepala Keya, mendadak dia merasa malu. Ibarat kata, egois. Dia mau dimengerti, tapi dia tidak mau mengerti.
Keya gemetar, dia tidak tahu jika dia ternyata gadis arogan. Berterima-kasihlah pada Izkil yang telah menyinggung. Jika tidak, Keya akan terus berpikir bahwa tindakannya sudah benar. Ya, benar jika berpikir untuk dirinya sendiri.
"A-aku tidak se-sepesial itu," cicit Keya pelan. "Aku tidak bisa menghibur dia seperti dia selalu ada untukku."
Menundukkan kepala, Keya menyembunyikan air mata di balik rambut hitam panjang yang menjadi tirai. Bagaimana caranya? Keya masih menyimpan perasaan berbahaya yang mengancam kewarasannya.
Tiba-tiba dia merasakan tepukan pelan di bahu, mendengar helaan napas berat Izkil untuk sekian kalinya. "Maaf, kau tak perlu memaksakan diri. Di antara kita semua sekelas, hanya kau yang hadir bahkan menemani Maigcal semalaman mengurus pemakaman. Aku seharusnya tidak ngomong begitu padamu."
Keya tidak menjawab, nyatanya Keya tidak seberani waktu ia mendengar kabar tentang kecelakaan Paman Sihen. Keya telah kembali pada dirinya sendiri, takut berdekatan dengan Maigcal.
"Aku dan beberapa anak yang lain akan ke rumah Maigcal selepas pulang sekolah. Seterah kau mau ikut atau tidak," lanjut Izkil.
Setelah pembicaraan itu, Keya tidak fokus memerhatikan guru menjelaskan. Pikirannya berkelana memikirkan apa dia akan ikut mengunjungi Maigcal atau tidak? Pada akhirnya Keya tetap lemah, dia memutuskan untuk tinggal dan melanjutkan identitas sebagai gadis tak tahu balas budi.
"Kau yakin tidak ikut?"
Sebelum berangkat, Izkil dan yang lain menawarkan, mereka sangat berharap Keya ikut. Tetapi....
"Ti-tidak."
Mereka kecewa mendengar itu, padahal mereka kira Keya akan melembutkan hati setelah dia tanpa pikir panjang lari di tengah malam untuk melihat pamannya Maigcal.
Tidak ada yang akan tahu yang kecelakaan itu adalah pamannya Maigcal, jika bukan Keya yang memberitahu untuk kepentingan absen Maigcal.
Lihat? Tidak ada yang lebih mengenal Maigcal di antara mereka sebaik Keya mengenal pesulap itu.
Mereka pergi, Keya tertinggal sendiri di dalam kelas. Terduduk mengusap rambut ke belakang menggunakan kedua tangan, kepalanya pusing terlebih hawa panas di luar masuk untuk mengutuk Keya.
"Oh, iya, payungku tertinggal di mobil mama tadi pagi."
Sungguh kesialan, jika ingin pulang maka Keya harus menunggu sampai matahari terbenam. Dia duduk ditemani kesunyian. 'Apa semua kelas sudah bubar?' Lantas Keya membenamkan kepala dalam lipatan tangan di atas meja.
Matanya terasa penas, lalu perlahan Keya tertidur.
Seorang wanita berkaca mata, guru bahasa, membuka lemari kayu tempat buku khusus yang tidak dimiliki siswa tersimpan dan terkunci di dalam. Pintunya terbuka lebar lantas dia syok melihat isinya, pun satu kelas menahan tawa kecuali Keya yang mati ketakutan.
"Kenapa ada banyak payung di sini?" Buk Kerla memutar kepala secara pelan seperti burung hantu, pada Keya yang tidak tahu apa-apa.
"Bu-bukan saya, Buk." Keya menggeleng cepat.
"Siapa lagi kalau bukan kamu?!"
"Saya, Buk." Maigcal mengangkat tangan, berdiri, berjalan ke depan tepat di samping lemari. Ia tutup pintu lemari kayu, memukul pelan menciptakan bunyi khas kayu.
Saat dibuka kembali, payung menghilang, buku tiba.
Keya terbangun setelah dia memimpikan masa lalu, dia sontak melihat jam dinding.
"14.53!" Keya berdiri, berlari keluar menuju kelas lamanya yaitu kelas sepuluh. Untung pintunya belum dikunci, mungkin masih ada beberapa guru yang tinggal.
Dia menyentuh lemari Kayu, membuka bagian belakangnya. Jejeran payung tersusun rapi serta banyak di dalam. Payung yang disiapkan Maigcal untuk berjaga-jaga jika Keya kehilangan payungnya, atau Maigcal merusak lagi payung Keya.
"Bahkan saat dia tidak ada pun, dia tetap bisa menolongku." Keya memegang satu payung itu erat, sesekali menyeka air mata haru dan malu.
Keya keluar dari sekolah, mengeluarkan jaket merah dari tasnya untuk dipakai. Membentang payung lebar, berjalan di bawah teriknya sinar matahari dalam balutan perlindungan benda-benda milik Maigcal.
Jaket kesayangannya dan payung.
"Bagaimana caraku menghapus perasaan, jika tanpa berdekatan pun dia tetap memberi pengaruh besar?" Keya lemas, tetapi kakinya tetap melangkah. Dia seakan tidak akan mungkin pernah bisa lari dari Maigcal.
Bagaikan melihat bulan, ketika dikejar dia menjauh, lalu saat berlari meninggalkan, dia mendekat.
Sayangnya hanya bisa dilihat, dia tidak bisa dimiliki.Keya dan bulan kesukaannya.
***
Rombongan Izkil menekan bel berkali-kali, tetapi tidak ada sahutan sama sekali. Mereka tidak bisa menghubungi Maigcal, telepon meraka diabaikan.
"Aku tidak ada melihat Maigcal masuk atau keluar beberapa hari ini," Aku Lizy. "Apa mungkin dia di rumah pamannya, ya?"
"Kau tahu di mana?"
Lizy menggeleng.
"Ke-Keya pasti tahu. Dia pernah me-menginap di sana dengan Maigcal." Mary menyahut, kemudian dia merasa bersalah telah membocorkan cerita dari Keya.
Bukan apa-apa, tetapi Sesil yang mengejar-negjar Maigcal ikut dalam rombongan. Mary hanya ingin menekankan bahwa Keya se-sepesial itu sehingga diperkenalkan pada pamannya Maigcal, di saat mereka semua hanya mengenal Maigcal dari luar saja.
Sesil tampak kesal, saling menatap dengan Mary seakan mata mereka mengeluarkan leser.
"Aku akan tanya Keya." Izkil mengambil ponsel, memberitahu Keya bahwa Maigcal tidak ada di apartemennya.
Keya kemudian mengirim alamat. Mereka langsung berangkat saat itu juga, tetapi hasilnya tetap sama, mereka gagal melihat wajah Maigcal hari ini. Entah ada atau tidak, pintu tidak terbuka untuk mempersilahkan masuk.
"Di mana Maigcal?"
***
Bulan bersinar terang tanpa hambatan jika dilihat dari gadung paling tinggi di kota, sosok pria berjubah serta bertopi tinggi menjuntai kaki ke bawah tanpa rasa ngeri. Dia mendongak menikmati sapuan cahaya redup dari lingkaran cahaya di atas sana.
Lidahnya terasa pahit, beberapa hari ini tidak makan dengan benar. Andaikan ada gadis yang memberikan coklat dan sepucuk surat kemenangan, sekali lagi dia akan menikmatiya di atas gedung ini sembari melihat kertas surat melayang di udara.
Bibirnya terangkat tipis, sudah berapa hari dia menyembunyikan diri? Sekali keluar dia malah mengingat momen bersama gadis yang mencoba lari darinya.
'Kau tidak sendiri, Keya bersamamu.'
Maigcal terkekeh sumbang, pamannya mengatakan hal itu dari matanya sebelum meninggal, tidak tahu bagaimana Keya membuat Maigcal seperti matahari yang membawa penyakit baginya. Terus menghindar.
Sekarang Maigcal benar-benar ingin makan coklat, tetapi bukan dari supermarket atau toko mana pun.
Dari gadis itu, gadis yang bisa mengenalnya dalam rupa apa saja. Rasa pahit di lidahnya pasti akan menghilang.
Benarkah hanya untuk mengobati lidah yang pahit?
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Key to Magic
Teen FictionKeajaiban? Itu tanggapan Keya ketika melihat pesulap semasa kecil. Setelah tumbuh besar Keya tidak sengaja bertemu Maigcal Magic, nama populer sebagai buronan yang mencuri menggunakan trik sulap tak masuk akal. Bagaimana kisah mereka? Akankah Keya...