Part 13. Perjalanan sore

34 7 1
                                    

"Keya, kau mau ke mana?" pekik Claire dari balkon utama di lantai dua.

Keya berbalik dan mendongak, sedikit memundurkan payung agar dapat melihat pemandangan di atas. "Jalan-jalan sore," balas Keya tak kalah keras. Lantas melanjutkan perjalanan di antara sinar orange condong menciptakan bayangan pada bangunan dan pepohonan lebih banyak dan tentu berteman dengan situasi Keya.

Sepanjang perjalanan, flat shoes baru yang dihadiahkan Ruslan Keya pakai sebab senada dengan warna gaunnya sekarang. Papanya memang terbaik, memberikan sepatu ternyaman serta memastikan tidak menciptakan goresan pada kaki anaknya. Jadi, tidak akan ada keluhan dalam perjalanan Keya.

Memperhatikan keadaan sekitar; orang-orang lari sore serta rata-rata memakai kaos, sepatu olahraga, dan celana longgar. Satu-satunya orang yang memakai gaun sebatas lutut, juga sepatu cantik hanya... Keya? Mungkin hal itu menjadi alasan kenapa Keya sesekali mendapati mereka saling berbisik satu sama lain.

"Hai, aku sering melihatmu lewat tidak pernah melepaskan payung. Kenapa?"

Sebuah teguran yang jelas tertuju pada Keya menghentikan langkah sang gadis di balik bayangan, menoleh pada laki-laki tinggi yang tengah beristirahat sembari memegang sebotol air mineral. Apa dia orang sini? Dia bilang sering melihat Keya.

"Kau sangat putih, ibuku sering membicarakan gadis putih berpayung itu sangat cantik. Kata sepupuku kau satu sekolah dengannya," sambung laki-laki itu, sesekali menenggak air, matanya tidak melepaskan lirikan walau demikian.

"Sepupumu?"

"Sesil. Kenal?"

Keya menggeleng, dia tidak pernah merasa punya kenalan dengan nama Sesil. Ini pertama kalinya dia mendengar nama itu, bahkan dalam film yang ia tonton tidak ada nama seperti itu.

"Itu." Si laki-laki menunjuk satu gadis di depan gerobak penjual es serut. Gadis bertubuh seksi dan berpakaian ketat dalam balutan pakaian joging memesona dalam pandangan lebih dewasa.

"Itu ... Sesil?"

Dia adalah orang yang mengintip Keya, Lizy, dan Mary, pekan lalu. Ingat? Dia bersama dua temannya di ambang pintu kelas kala itu. Keya tidak pernah mencari tahu tentang gadis itu, hari ini ia tahu bahwa gadis yang kata Mary kakak kelas bernama: Sesil. "Aku pernah melihatnya. Dia adalah kakak kelasku," jawab Keya.

"Oh, begitu."

"Dia tinggal di daerah sini juga?"

"Tidak. Hanya sesekali dia main ke rumah kami."

Keya mengangguk, kembali melanjutkan perjalanan setelah mengulas senyum terakhir pada cowok ramah tersebut. Dedaunan kuning ia injak seperti sebuah karpet penghormatan membentang indah menyambut sang tuan putri. Suasana daerah paling sejuk di distrik serta paling damai, menjelaskan jarak pusat distrik yang sibuk serta pengap tidak tersentuh sampai lingkungan tempat tinggal Keya.

Di antara suasana menyenangkan tersebut, sesuatu membuat Keya berhenti bergerak dan terpaku di tempat seperti menemukan hantu di sore hari. Tidak-tidak! Bukan hantu singguhan, mereka adalah pasangan yang tengah berciuman di balik pohon baris belakang--sayangnya Keya dapat melihat mereka.

"Barly dan Lizy?" gumam Keya, tinggal sedikit lagi wajahnya menjadi semerah tomat, atau semanis apel di antara salju bersih serta lembut.

Sentuhan terakhir itu pun terjadi ketika Barly membuka mata dan melihat Keya namun masih tetap mencium Lizy yang tidak sadar sama sekali tengah diintip oleh vampir berwajah merah padam. Barly tidak peduli, semakin membuat Keya malu lalu berpaling perlahan mencoba mengabaikan.

Bukan cemburu atau apa, hanya saja Keya asing dengan gaya pergaulan seperti itu. Sama sekali tidak cocok dengan ajaran yang Keya terima dari sang papa. Terlebih mereka belum genap setahun menginjak usia SMA.

Di sebuah ayunan Kayu yang tergantung di salah satu pohon, Keya mengistirahatkan diri setelah merasa jauh dengan pasangan sebelumnya. Bernapas lega bersandar sembari memejamkan mata sesaat.

"Hai."

Mata Keya terbangun, melihat siapa yang baru saja mengatakan Hai begitu dekat. Oh, sudah ada penghuni duduk di sebelah Keya, dia adalah gadis seksi bernama Sesil yang ditunjuk laki-laki tinggi tadi. Tapi tidak ada laki-laki itu bersama Sesil sekarang.

"Iya?" jawab Keya.

Sesil menyerahkan botol minuman dingin pada Keya, melihat itu Keya mau tidak mau tetap menerima untuk menghargai niatnya.

"Hmm, aku lihat di sekolah kau dekat dengan Maigcal. Itu..." Sesil menimbang ragu dengan raut gugup, "... kalian pacaran, ya?"

Ah, Keya dengan cepat dapat menebak yang satu ini. Sesil menyukai Maigcal, sayangnya rumor yang menyebar di sekolah menghentikan niat Sesil untuk mengungkapkan perasaannya. Atau selama ini Sesil mengawasi Keya sebab cemburu? Mencari tahu apa rumor itu benar? Dan saat ini ia berani bertanya karena mungkin dia mendapatkan kejanggalan dalam hubungan Keya dan Maigcal.

"Maaf, rumor di sekolah itu tidak benar, kan?" cicit Sesil.

Entah kenapa Keya merasa tidak senang. Sungguh dia bertanya-tanya kenapa dia diam belum menjawab pertanyaan mudah dari gadis yang menyukai teman sebangkunya. Tinggal iya atau tidak. Sepertinya dampak setelah itu akan sulit Keya terima sehingga dia menggenggam tangan begitu erat.

"Keya?" panggil Sesil tidak sabar.

"A-ah, sudah jam berapa ini? Aku harus pulang. Permisi."

Pada akhirnya Keya melarikan diri, meninggalkan botol minuman yang diberikan oleh Sesil sebelumnya sebab benar-benar panik. Di sini Sesil membuang napas berat, marih botol yang tertinggal, menatap kecewa tidak mendapat jawaban apa pun, namun kemudian dia bertekad untuk tetap mengutarakan perasaan besok di sekolah, di hari valentine.

***

Bahu Keya turun melemas setelah menutup pintu dan bersandar di belakangnya. Perjalanan sore ini benar-benar kecau, Keya merasa menyesal telah keluar dari rumah.

Tiba-tiba tercium aroma manis dari dapur, pembantu mungkin sedang membuat kudapan lezat yang bisa memperbaiki perasaan buruk Keya. Dia pergi ke dapur, bukan pembantu yang ada di sana melainkan Claire. Wanita itu tengah bersenandung bahagia, mengaduk-aduk sesuatu di panci.

"Tumben Kakak memasak, kerasukan setan mana?"

"Hus! Aku sedang membuat coklat spesial untuk orang spesial," jawab Claire tanpa menoleh, pandangannya fokus pada panci.

"Coklat?" Kepala Keya teleng ke kanan, berpikir sejenak dalam bisu.

"Besok hari valentine. Kau enggak ada persiapan memberikan coklat untuk pacarmu?"

Ah! Pantas saja hari ini Barly dan Lizy mesra, pun Sesil yang menanyakan tentang hubungan Keya dan Maigcal--dia pasti hendak mengatakan cinta di hari kasih sayang.

"Untuk siapa juga aku membuat coklat?" jawab Keya bersama hembusan napas berat.

Claire berhenti mengaduk panci, menoleh, mengernyit heran. "Untuk pacarmu, si Maigcal?"

"Sejak kapan aku pacaran sama dia? Kenapa kalian semua berpikir seperti itu?" Keya berbalik badan, pergi dengan entakkan kaki yang kuat serta nyaring di telinga. Sekarang dia harus kembali ke kamar, merenungi pasal perasaan yang sulit dijelaskan.

Keya melemparkan diri di atas sofa empuk, meraih ponsel di atas meja untuk menambah kekesalan terhadap konten para wanita yang mempersiapkan coklat untuk orang spesial. Mendadak Keya mendapatkan berita menarik, dia jadi bersemangat lalu berlari laju ke dapur.

"Kak, ajari aku cara membuat coklat yang enak!" pinta Keya pada Claire yang masih berada di dapur.

"Hah? Katanya enggak punya pacar tadi. Apa sekarang sudah punya? Cepat sekali, belum ada 15 menit semenjak kau mengentak-entakkan kaki di lantai."

"Terserah! Yang jelas ajari aku membuat coklat."

"Ba-baiklah."

Bersambung....















The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang