36. Hujan itu romantis.

49 8 4
                                    

Kalau biasanya naik kereta, kini Keya dapat menempuh jarak hanya berjalan kaki menuju stasiun. Pun dia harus berhemat, jarak ke sekolah dari tempat tinggal Keya sekarang 40 menit berjalan kaki. Jauh tapi tidak punya pilihan. Ruslan sengaja pindah ke daerah yang cukup dekat dengan sekolah Keya.

Pagi-pagi Keya sudah berjalan memegang payung, mengenakan jaket merah milik Maigcal. Entahlah, jaket itu rasanya lebih bisa melindungi Keya dari pada jaket mana pun yang Keya meiliki.

Keya melompat-lompat melewati jalan becek, dia meringis ketika salah mendarat sehingga tidak hanya sepatu yang kotor, tetapi kaos kakinya juga.

"Astaga." Keya mendengus sebal, mendongak ke atas, awan mendung di atas sana seakan tidak tahan lagi menahan air. Disusul angin kencang, Keya kesulitan melangkah maju melawan arah angin, menggunakan payung sebagai tongkat untuk bertahan.

"Padahal tadi malam sudah hujan!"

Selanjutnya rintikan air menghantam tajam, langsung Keya membentang payung. Sayangnya itu pilihan buruk, hujan disertai angin kencang malah membuat Keya terjatuh jika melebarkan kepal payung.

Keya terduduk di atas tanah, terdiam dalam posisi tersebut, tidak bisa menghindar dari hujan. Pakaian Keya kotor berlumpur, membuat Keya menatap kosong payungnya yang dibawa angin terbang menari seperti burung di atas sana.

"Payungku ...."

Ia mengigit bibirnya, menunduk dengan bahu yang gemetar. Hujan deras ini meredam suara tangis dan air matanya. Sekarang Keya tidak mungkin bisa pergi ke sekolah, dia terlalu kotor untuk bergabung dengan yang lain.

Tiba-tiba sebuah tangan terulur, Keya tersentak sebelum dia mendongak melihat siapa yang mau membungkuk pada gadis malang ini.

Melihatnya, Keya tak mampu menahan diri untuk meledakkan emosi yang sedari kemarin ia tahan, merengek tersedu-sedu sampai seseorang itu berlutut memeluknya erat.

Mereka sama-sama basah dan kotor.

"Maigcal, aku enggak bisa ke sekolah," adu Keya memukul-mukul dada Maigcal melampiaskan sakit yang menusuk dadanya.

"Hari ini tidak usah ke sekolah, tidak apa-apa." Maigcal melonggarkan jarak, menyeka air mata Keya yang bercampur dengan hujan. Hidung memerah, mata sembab, dan tubuh gemetar kedinginan. Tidak hanya itu, saat Maigcal membantu Keya berdiri, lutut gadis itu ternyata mengeluarkan darah, dia juga meringis sakit pada pergelangan kaki.

Tak pikir panjang lagi, Maigcal menggendong Keya, gadis itu pun tidak punya tenaga untuk menolak.

"Rumahmu di mana, Keya?"

"Aku sudah berjalan selama 25 menit, jadi masih jauh."

"Beritahu aku jika sudah hampir sampai."

Keya mengangguk pelan, sekaligus bersyukur Maigcal datang di saat Keya bingung bagaimana cara dia kembali. Ia pandangi wajah Maigcal lekat, jantung Keya masih berdebar-debar belum menghilangkan perasaan. Rambut Maigcal basah hampir menutupi matanya, menetaskan air di setiap helain hitam.

Keya menyisir rambut Maigcal ke belakang, membantu akses baginya untuk melihat jelas.

Maigcal menunduk. "Terima kasih," ucapnya sembari tersenyum.

Keya membuang muka, jantungnya bisa saja meledak saat ini.

"Maigcal, apa aku berat?"

"Tidak."

"Kau pasti kedinginan, aku malah membuat jaket kesayanganmu kotor dan basah."

"Tidak apa-apa, paman pasti senang jika tahu kau juga menyukai jaket yang ia beli."

The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang