Part 10.

51 9 1
                                    

"Keya!"

Keya berhenti melangkah, berbalik ke belakang lantas menunggu seseorang yang memanggilnya tepat di depan Keya. Gadis itu berlari kecil, tersenyum bahagia membawa sebuah keranjang rotan coklat. Pandangan Keya jatuh pada keranjang yang mengeluarkan aroma manis, dia tergoda ingin tahu apa yang tersembunyi di balik kain putih itu.

"Itu apa, Mary?" Keya langsung saja mengutarakan niatnya.

Mary dengan senang hati menyibak kain putih, memperlihatkan bolu lembut berwarna pekat ditaburi manik cokocip. Seketika aroma semakin menyerbak, mengundang gadis lain untuk singgah. Lizy datang berekspresi sama seperti Keya tepat di samping Keya, jelas sekali dari wajah mereka menginginkan bolu itu.

"Boleh aku minta?" ucap Keya dan Lizy bebarengan.

Mary tertawa. "Iya ambil saja, aku bawa untuk dibagi-bagikan."

"Tidak perlu dibagi-bagikan ke orang lain, untuk kami saja," jawab Lizy yang mendapat anggukan dari kepala.

Mulut mereka berdua telah diisi bahkan sisa coklat mengotori sisi bibir mereka. Makan dengan pelan namun lahap sampai isi keranjang itu sisa sedikit menjelang mereka sampai ke kelas. Harus diakui bolunya sangat enak, tidak rela bagi Keya untuk berbagi bahkan dia merutuki kenapa Lizy tiba-tiba muncul membantunya makan.

"Ibuku buat banyak. Karena enak aku ingin ada orang lain yang mengakuinya juga." Mary duduk di bangkunya sendiri, pun Keya dan Lizy. Jika dilihat, posisi mereka berdekatan; berada dalam satu barisan, Keya paling belakang, Mery di depan Keya, Lizy di depan Mary. Mengobrol di kursi masing-masing juga masih ok.

"Kau baik sekali, kalau aku jadi kau maka aku akan menghabiskannya sendiri," sahut Lizy di depan.

"Kau kan rakus, Lizy," sambar Keya tertawa kecil.

"Aku akui itu." Lizy menepuk dadanya bangga. Siapa pun yang mengatai Lizy rakus maka akan ia terima, karena itu adalah kenyataan yang sangat disadari oleh Lizy. Untunglah dia bukan tipe mudah gemuk.

Dalam satu barisan ujung itu hanya ada mereka bertiga, entah ke mana 7 orang lainnya; termasuk Maigcal, Izkil, dan Barly. Keya mengernyit pada sesok gadis kuncir kuda di ambang pintu tengah berdiri bersama dua temannya. Apa yang mereka lihat? Keya menyadari arah tatapannya ada di baris ujung ini, tampak datar entah apa maksudnya.

Lizy? Mary? Atau Keya? Hanya tiga orang di barisan ini. Pasti salah satu di antara mereka yang menjadi objek. Keya menyipitkan mata, ternyata Lizy, Mary, dan Keya, secara bergantian menjadi objek.

"Kenapa, Keya?" tanya Mary, mengikuti arah pandang Keya. Dia juga menemukan tiga gadis menghalangi pintu masuk kelas. "Oh, itu, mereka kelas delapan," jelas Mary tanpa perlu ditanya terlebih dahulu.

"Kau kenal?"

"Enggak, pernah lihat saja."

"Kenapa, ya, mereka ke sini?"

Tiba-tiba Lizy menyahut, "Apa salahnya? Dulu waktu SMP kita juga begitu. Datang ke kelas adek kelas, biar keliatan senior begitu. Harus hormat!"

Masuk akal, Keya dapat menerima pendapat Lizy. Ketika melirik ke depan lagi, tidak ada kakak kelas lagi di depan pintu, pasti mereka bertiga mendengar ucapan Lizy. Mampuslah, Keya enggak mau ikut campur, itu Lizy yang bilang. Jangan sampai ada drama konyol nantinya.

Pukul 08.00, bel sekolah berbunyi mengumpulkan semua murid ke kelas masing-masing. Maigcal duduk di samping Keya, keringatan membasahi dahi, penampilan juga berantakan.

"Habis ngapain? Masih pagi sudah kotor."

"Merpatiku yang masih kecil dikejar elang besar. Aku berlari memanggil merpati itu, lama sekali dia merespons. Mungkin bingung dalam keadaan genting seperti itu."

"Jadi apakah dia selamat?"

"Selamat, dia akhirnya memilih untuk terbang ke arahku." Maigcal mengacungkan jempol, pun Keya menjadi lega.

Eh, soal merpati ... Maigcal bilang dia memeliki 50 merpati jinak. Keya tidak ada melihat satu pun merpati di rumah Maigcal ketika kerja kelompok kemarin. Kandang pun tidak ada.

"Maigcal, marpatimu kamu simpan di mana?"

"Aku biarkan bebas. Aku tidak pernah mengurung mere-" Maigcal diam sejenak, kemudian mengusap pelan pinggir bibir Keya tanpa aba-aba.

Keya sontak memundurkan kepala. "A-apa?" Jantungnya berpacu cepat. Tatapan lembut Maigcal begitu dekat sehingga Keya tidak sadar bertapa merah telinganya sekarang.

"E-eh, jangan salah paham!" Maigcal ikut gugup sebab paham akan reaksi malu Keya. Segera dia membuang muka ke arah jendela. "Aku hanya membersihkan sisa coklat di bibirmu."

"Aku tahu."

Tidak! Keya tidak tahu, ia pikir Maigcal akan menciumnya tadi. Dengan tangan mengusap bibir juga wajah yang begitu dekat. Siapa yang tidak akan salah paham? Keduanya sama-sama berpaling wajah, udara terasa lebih panas dari sebelumnya--aura kecanggungan mendominasi hanya karena hal sepele.

"Selamat pagi," sapa guru memasuki kelas.

Pelajaran dimulai. Kecanggungan berlalu cepat sebab Maigcal tahu cara mencairkan suasana. Mereka kembali bersikap seperti biasa, melupakan hal memalukan yang bikin siapa saja salah paham jika melihat.

***

Keya mengeluh dalam diam, listrik telah mati selama 20 menit dan menurut Keya itu lama--memadamkan segala pendinginan dalam ruangan sehingga Keya kepanasan dan terasa lemas. Jika dilihat-lihat hanya dia yang tersiksa, sementara teman kelas tampak santai mendengarkan penjelasan guru.

Tidak ada yang menyadari keresahan Keya, termasuk Maigcal yang tengah tidur lelap melipat tangan di atas meja. Buku menjadi Keya kibas-kibaskan kuat, menciptakan bunyi ganjal di antara sepi selain mulut guru yang bagaikan ayam betina segera bertelur.

"Keya," tegur guru wanita pendek berisi bersanggul tinggi.

"Panas, Buk," tutur Keya menjawab.

Guru menghela napas sejenak, meminta siswa untuk menyibak tirai dan membuka jendela lebar agar angin luar masuk. Kelas pun menjadi terang, mereka yang silau melihat papan tulis terpaksa diam saja atau vampir di kelas mereka akan mati kekeringan.

"Bagaimana sekarang?" tanya guru.

"Lebih baik, tidak terasa pengap lagi." Keya berhenti mengibaskan buku setelah merasa nyaman. Tadinya Keya pikir membuka jendela akan semakin membuat panas, ternyata malah sebaliknya, sebab cahaya matahari tidak menghadap kelas tersebut. Setelah itu Keya menyibak satu-satunya kain hitam, ikut membuka lebar jendela.

"Keya, butuh darah enggak? Nih, hisap darahku." Izkil teleng ke kiri memperlihatkan lehernya.

Keya membuang muka dengan raut sebal, satu kelas atau bahkan satu sekolah sudah menganggap Keya vampir. Tidak diragukan lagi.

"Itu Maigcal tidur lagi?" Guru menepuk jidat.

"Dari tadi, Buk, kira-kira sudah satu jam."

Kemudian mereka tertawa. Sudah biasa melihat Maigcal tidur di kelas, guru tidak marah sebab jika Maigcal diberi pertanyaan maka laki-laki itu menjawab benar. Tentu saja setelah dia bangun tidur.

"Ibu heran apa tujuan dia sekolah sebenarnya."

"Nemani Keya biar enggak duduk sendiri," jawab salah satu anak laki-laki dibarengi tawa yang lain.

Keya melihat Maigcal yang tak terusik sama sekali setelah keributan sesaat ini. Tersenyum tipis, Keya menopang dagu menatap lekat Maigcal; bulu mata panjang, hidung mancung, bibir cerah. Rambut hitam Maigcal menari-nari di atas jidat oleh angin yang bertiup masuk, sungguh pemandangan indah bagi Keya menikmati sisi tenang Maigcal.

"Kalau diam begini kan ganteng," gumam Keya sangat sadar atas ucapan sendiri. Dia harus mengakui itu karena itulah kenyataannya.

Bersambung...


The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang