Dokter menggeleng pelan setelah memeriksa Keya, dengusan samar keluar dari mulutnya berbentuk pasrah. “Dia sehat, tapi dia tertidur panjang. Aku tidak tahu harus mengatakan apa.” Dokter berdiri menggenggam tasnya, menepuk pundak Maigcal sembari tersenyum tipis. “Dia pasti akan bangun nanti, kau hanya perlu sabar.”
Maigcal menunduk pasrah, mata sayu menatap lantai dingin yang ia injak. Sampai kapan dia akan menunggu? Tiga hari saja sudah begitu lama bagi Maigcal. Menoleh kasihan ke arah Keya, gadis itu tenang menghirup dan menghembuskan napas.
‘Maigcal… aku capek. Sakit. Takut. Tolong aku.’
Waktu itu Keya benar-benar diujung tanduk, sekarang dia melarikan diri ke dunia mimpi panjang yang entah kapan berakhir. Sesekali Maigcal melihat dia tersenyum dalam lelap, jelas Keya tengah bermimpi indah sehingga dia enggan bangun.
“Kalau suhu tubuhnya naik, atau napas lemah, hubungi aku lagi.”
Maigcal tidak bisa memaksa keadaan, membiarkan dokter pergi meski tidak ada hasil sedikit pun. Dia menggantikan tempat duduk dokter, menggenggam tangan Keya dalam kepalan tak bertenaga. “Kau harus bangun, Keya. Minum dan memakan makanan yang enak. Lihatlah bagaimana kurusnya tubuhmu sekarang.”
Tiga marpati masuk dan berterbangan di dalam ruangan, mengepakkan sayap, hinggap di atas nakas memandang Maigcal seakan memberikan simpati. Bahkan burung pun tahu dia tengah kesepian. Setiap ruangan terasa dingin, meski penghangat telah dihidupkan … sama sekali tidak membantu.
Yang kedinginan adalah jiwanya. Tidak memiliki keluarga, gadis bagai rembulan tengah bersembunyi di balik awan besar. Maigcal yang berjalan pada malam tidak memiliki penerangan alami, meraba-raba memasang wajah palsu tanpa kecemasan.
Satu burung marpati hinggap di pundaknya, menggosok-gosok manja kepalanya yang kecil menggelitik telinga Maigcal. Dia bersuara mendominasi di kesepian ini, bertingkah lucu agar mendapatkan perhatian.
Maigcal mengeluarkan jari telunjuknya, burung lain hinggap di sana. Mereka saling tatap, Maigcal tersenyum sayang. “Terima kasih, aku baik-baik saja,” dia memberi tahu, mengelus bergantian kepala tiga burung merpati yang paling perhatian di antara peliharaan Maigcal lainnya.
“Aku akan membalas mereka.”
Kemarahan Maigcal tertuju pada si penagih, rasanya tidak cukup melepaskan mereka setelah membayarkan hutang. Setidaknya Maigcal ingin mereka menelan kata-kata mereka, menjadikan Keya sebagai orang yang paling mereka takuti. Kedua adalah pamannya Keya, Arland, Maigcal sangat yakin kematian Ruslan bukan sekedar kecelakaan atas kecerobohan—ada sesuatu di balik itu.
“Arland.” Mengucapkan nama itu rasanya isi perut bergejolak ingin dimuntahkan. Segunung rasa benci menekan Maigcal untuk tidak bertemu dengan pria tua itu. Meski bisa, dia tidak akan sudi melihat wajahnya. Maigcal akan mengotori tangannya dengan darah busuk jika itu terjadi.
Dia melemparkan punggung di sandaran kursi, mengacak-acak rambut kasar sehingga burung-burung terbang menjauh. “Aku tidak akan membunuh.” Api dendam sendiri menakutinya, meski dicap sebagai kriminal kelas kakap dia tidak pernah merenggut nyawa seseorang. Hanya mencuri permata milik pengusaha berlian terkemuka, Arland saja.
Ting.
Maigcal melirik nakas tempat burungnya bertengger, benda persegi pipih menyala menerima pesan baru. Maigcal meraih ponselnya, mengernyit sebab baru pertama kali mendapatkan pesan dari laki-laki terdingin di kelas, Barly.
[Aku juga yakin Arland adalah sang pembunuh. Sesuatu mengusikku.]
Mata Maigcal berkedut, masih sulit mempercayai Barly adalah pengirim pesan. Dia merinding, teringat bagaimana watak mereka bertolak belakang dan saling bersaing, juga bertukar tatapan permusuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Key to Magic
Teen FictionKeajaiban? Itu tanggapan Keya ketika melihat pesulap semasa kecil. Setelah tumbuh besar Keya tidak sengaja bertemu Maigcal Magic, nama populer sebagai buronan yang mencuri menggunakan trik sulap tak masuk akal. Bagaimana kisah mereka? Akankah Keya...