35. Lembaran baru.

27 6 1
                                    

"Maigcal!" pekik Izkil melihat sahabat karibnya menampakkan batang hidung dalam balutan seragam sekolah setelah empat hari tidak terlihat di mana pun.

Semua atensi langsung teralih, suasana menjadi berisik, masing-masing mengucapkan belasungkawa serta maaf tidak hadir pada pemakaman sang paman. Maigcal tersenyum, menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

"Kalau Keya enggak mengabsenkanmu, kami sama sekali tidak tahu kalau pesulap itu adalah pamanmu."

Maigcal melirik kursi Keya, kosong dan dingin. Lantas dia kembali sibuk dengan teman-temannya yang mencoba menghibur. Hanya satu orang yang duduk diam pada tempat sendiri, Barly, laki-laki itu panas-dingin membaca berita di halaman gogglenya.

"Keya," gumamnya lirih penuh keterkejutan dalam diam.

"Masih ingat mantan pertama?" Lizy menyinggung, kebetulan dia di samping Barly sebab terdorong oleh kerumunan teman-teman yang ingin mendekati Maigcal.

Lizy tidak mendapat respon, Barly terlalu terpaku pada ponsel di tangannya. 'Apa sih yang dia lihat?' Penasaran, Lizy mengintip lantas terbelalak.

"Keya!" pekik Lizy. "Keluarga Keya bangkrut!"

Jeritan Lizy cukup keras untuk di dengar sampai ke kelas sebelah, mereka yang tadi memberikan perhatian penuh pada Maigcal, beralih menoleh ke arah Lizy menciptakan hening sesaat.

Maigcal maju terlebih dahulu mengikis jarak pada Lizy, dia mengikuti arah pandang gadis itu yang tertuju pada ponsel dari laki-laki tak bersuara serta tak bergerak seolah dia adalah patung. Maigcal merebut ponsel itu, membaca tergesa-gesa, dia sangat panik sekaligus sulit mempercayai berita tersebut.

Barly merebut ponselnya dari Maigcal. "Aku rasa hari ini Kaya tidak masuk sekolah. Besok, jangan ada satu pun menyinggung tentang hal ini kecuali dia memang ingin bercerita." Dia menyimpan benda pipih itu ke dalam saku, memindai mereka berisi ancaman.

Pada satu titik, Maigcal dan Barly bertatapan, tetapi Barly cepat membuang muka. Tidak ada niat meladeni orang yang belum lama kehilangan, ditinggalkan seorang diri tanpa keluarga.

"Jangan khawatir, aku tidak ada niat balikan dengan Keya," tutur Barly tanpa melihat. Hanya Maigcal yang mendengar suaranya. "Hanya kebetulan aku tahu tentangnya lebih cepat darimu."

Maigcal menghempas pantat di kursi sebelah. "Kau bisa membaca pikiranku?"

"Ekspresimu terlalu jelas. Cemburu? Marah karena kau telat? Takut aku mendekatinya?"

"Iya." Maigcal tertawa kecil.

Barly meliriknya dari ujung mata, mengernyit, Maigcal tidak seperti orang yang baru saja berduka. Tidak ada perubahan, atau setidaknya menunjukkan kesedihan. Apa yang ia lakukan selama menghilang?

"Tidak ada gunanya menunjukkan kelemahanku, begini saja aku sudah mendapat simpati," kata Maigcal tiba-tiba.

"Kau membaca pikiranku?"

"Lirikanmu menggelitik tengkukku," balas Maigcal. Barly berdecak lidah, mereka kemudian sama-sama membuang muka.

***

Rumahnya pengap, kecil, dan jelek. Keya mengipas-ngipas wajah menggunakan potongan kardus di teras pada sebuah bangku kayu berdebu. Tidak ada AC, hanya kipas yang malah terasa penas juga seperti hawa rumah itu.

Bagaimana cara Keya bertahan di tempat baru ini? Dia adalah orang yang rentan panas. Biar begitu Keya tidak ingin protes, uang mereka tinggal sedikit sekali untuk bertahan sampai Ruslan mendapatkan pekerjaan.

Rumah kontrakan murah memang tak bisa dihindari.

"Keya, kau kepanasan, Nak?"

Ruslan keluar dari dalam, menangkap putrinya yang dalam kesulitan oleh keadaan baru. Memandang cemas penuh rasa bersalah, Ruslan takut Keya kenapa-napa.

Namun Keya tersenyum cerah, tak selaras dengan jeritan tubuh Keya. "Memang panas, tapi enggak apa-apa."

"Papa melihat ada pondok atap di bawah pohon rindang. Cobalah pergi ke sana." Ruslan memberi usul, ia yakin suasana sejuk di bawah pohon dapat membantu Keya.

"Ok." Keya berdiri membentang payungnya, dia akan langsung pergi ke sana sebab memang sudah tidak kuat lagi.

Setelah berjalan kaki selama kurang dari satu menit, Keya sampai di pondok berdebu. Keya menoleh sana-sini, melihat situasi di balik alasan pondok yang jarang di kunjungi ini. Tidak ada anak-anak yang bermain, di teras rumah mereka Keya melihat mereka memegang ponsel masing-masing.

"Aku kira bakal melihat anak-anak main," keluhnya. Tempat baru ini agak jauh dari pusat kota, sehingga harapan melihat aktivitas anak-anak desa zaman dulu cukup bersar. Keya memang tidak pernah bermain di luar bersama taman waktu kecil, selain dia lemah, daerah tempat mereka tinggal dulu hidupnya tidak bermasyarakat.

Keya meniup lantai pondok, lantas terbatuk oleh debu berterbangan. Andaikan dia memiliki sapu, Keya akan membersihkan sebab pondok ini akan sering ia naungi.

Sejuk, angin bertiup merdu menggoyangkan daun-daun hijau lalu menjatuhkan yang kuning, menciptakan suara tenang yang cocok untuk rileksasi. Keya menoleh ke arah kontrakannya, melihat Ruslan tengah mengayun sapu. Seketika mata Keya sendu, menitikkan air mata akan bertapa menyedihkan papanya.

Seseorang yang dulu hanya memainkan telunjuk, tidak memiliki taring lagi. Dia dibasahi oleh peluh membenah rumah seorang diri, tidak membiarkan Keya membantu sebab hawa panasnya saja sudah membuat Keya lemas.

"Papa." Keya menyeka air matanya, jika saja Rosa tidak memilih pergi maka pemandangan sekarang tidak tampak se menyedihkan itu. Mereka berdua saling mendukung, bekerja sama menghadap lembaran baru.

Keya bersumpah tidak akan membiarkan air mata menangisi wanita yang meninggalkan keluarga itu. Tapi semoga dia bahagia, menemukan sosok yang dapat memenuhi gaya hidupnya.

Keya menghidupkan ponsel, memblokir nomor Rosa. Apa pun yang terjadi, Keya tak ingin tahu kabarnya. Jika dia menikah lagi dan membiarkan anak orang memanggilnya 'Mama' Keya tidak yakin dia sepenuhnya akan ikhlas.

"Lebih baik aku tidak tahu sama sekali." Keya tersenyum pahit, dia juga menyembunyikan foto Rosa agar saat dia membuka galeri, foto wanita itu tidak ada.

"Keya!"

Keya mendongak, menoleh ke arah sosok yang memanggilnya. Itu Claire, dia datang seorang diri membawa perutnya yang besar, kandungan 5 bulan.

Wanita itu menghampiri Keya setelah terlihat dia baru saja berbicara pada Ruslan untuk pamit sebentar.

"Sendiri?" Keya mengangkat sebelah alis.

Claire duduk berdiri di depan Keya, ragu duduk sebab berdebu. "Iya, Adam lagi di kantor. Itu kau duduk di ...."

"Bagianku sudah aku bersihkan. Lebih baik kau ke sana, temani Papa."

"Rumahnya panas," ucap Claire tiba-tiba. "Papa memintaku untuk membiarkanmu tinggal bersama kami, tapi ...." Wajah Claire layu, dia merasa tidak enak hati namun juga kasihan pada Keya dan Ruslan. Kalau bisa dia ingin membawa keduanya.

"Tidak perlu, suamimu pasti tidak mau menampung satu pun dari kami. Selain brengsek, dia itu pendedam. Dia mengingat aku yang membencinya, juga Papa yang memukul dia habis-habisan kala kau mengaku hamil."

"Maaf, Keya."

Keya terkekeh. "Tidak apa-apa, mulai sekarang pondok ini rumahku saat siang, lalu malam aku kembali ke rumah pengap itu."

Claire mengangguk mengerti, adiknya adalah gadis yang hebat. Claire mengerti kenapa dulu hingga sekarang, papanya sangat mempercayai Keya dari pada Claire. Bodohnya Claire sempat berpikir bahwa Ruslan pilih kasih.

"Aku pergi bantu papa dulu."

"Kau sedang hamil, aku yakin papa tidak akan membiarkanmu."

"Yang ringan saja, seperti memasak makan siang. Kalian belum makan, kan?"

Keya mengangguk, di antara Keya dan Ruslan, mereka berdua sama-sama tidak bisa memasak. Ada untungnya Claire datang.

Terus bagaimana besok? Ah, besok pikirkan besok. Mereka bisa makan apa saja di situasi sekarang, lingkungan akan menuntut mereka untuk mengembangkan skill bertahan hidup--salah satunya memasak.

The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang