38. Masakan pertama putriku.

41 8 3
                                    

[Aku sudah sampai, mungkin selanjutnya aku tidak bisa mengabarimu sampai aku akan kembali. Katanya dua minggu. Menyebalkan, tapi aku harus berkencan siang-malam dengan buku, tak akan sempat lagi memegang ponsel.]

Pesan dari Maigcal hanya Keya baca saja, enggan untuk membalasnya sekalipun otak terasa panas. Keya meletakkan ponsel ke lantai, menoleh pada pintu suram menunggu papanya pulang di depan hidangan makan malam.

Ini pertama kalinya Keya memasak—hanya menggoreng seperti yang diajarkan Maigcal tadi siang—Keya tidak sabar melihat reaksi sang papa mencicipi tahu goreng asin dan kering. Kepulan asap mengudara, aroma gorengan gurih tercium hangat dan nikmat.

Keya meraih kembali ponselnya, menghubungi Ruslan saking tidak sabarnya dia.

“Papa, kenapa lama sekali? Sudah malam, loh. Aku memasak untuk makan malam, heheh.” Kebahagiaan sederhana Keya menguap, membuat papanya yang mendengar terkekeh merasakan emosi baik sang putri.

‘Wah, papa jadi enggak sabar coba masakan Keya. Papa akan pulang sebentar lagi.’

“Ok, aku tunggu. Ini masakan pertamaku, Papa harus mencicipinya!”

‘Iya, dong. Dah, ya, Papa lagi ngobrol sama pamanmu.’

Panggilan diputus, Keya memandang lama nama Ruslan di ponsel sisa panggilan mereka. Tersenyum getir sebab papa ternyata menjumpai Paman Arland, pria yang tidak dapat dihubungi lagi setelah mendengar kabar kebangkrutan Ruslan.

“Jelas dia tidak ingin membantu, kenapa papa menemui dia?” Bibir Keya maju, cemberut, menyandarkan diri di dinding sambil menatap asap dari makanan panas. “Sebelum dingin, cepat pulang, Papa.”

***

Dua saudara beda ibu duduk di balkon hotel, berbincang tegang mengalahkan dinginnya angin malam. Dari ketinggian 11 lantai di sebuah gedung hotel, sama-sama mereka memandangi kelap-kelip lampu kota di bawah sana tampak sibuk.

“Kau hanya perlu membayar 7 Miliar, Arland. Aku janji tidak akan mencarimu lagi,” ucap Ruslan santai namun tentu memohon. “7M bukan apa-apa bagimu, kan?”

Arland menghembuskan asap cerutu ke udara, lantas menekan ujung sisanya ke asbak. “Abangku.” Ada sedikit kesombongan di intonasinya. “Apa kau ingat waktu kita memperebutkan harta mendiang papa? Kau menang karena kau putra tertua, sementara aku?” Dia tertawa hambar, kenangan menyakitkan bagi dia yang dulu menganggap keputusan papanya tidak adil. “Aku tidak mendapatkan apapun.”

“Arland, itu karena kau pemuda yang selalu membuat masalah saat itu. Narkoba, wanita, poya-poya, itu membuat papa tidak yakin padamu.”

“Iya, tapi lihat siapa yang menghancurkan sejarah kejayaan? Sedangkan aku berhasil mengembangkan bisnis dari ayah ibuku sampai sekarang.”

Ruslan mengepalkan tangan, menekan emosi karena dia harus mendapatkan uang 7M untuk membayar sisa hutang sebelum penagih datang dan membuat Keya tahu.

Tatapan Ruslan menjadi kilatan menjijikkan, dia tersenyum seperti bajingan tak tahu diri sambil mengeluarkan sebuah kamera perekam keluaran 12 tahun lalu. Sepertinya dia tidak punya cara lain selain menggunakan cara hina untuk mendapatkan uang.

“Kenapa kau mengeluarkan kamera?” Arland mengernyit tidak mengerti. Ruslan sedang tidak ingin mengajak berfoto, kan? Konyol. Dia mungkin sudah tidak waras oleh hutang yang tidak bisa ia bayar.

“Awalnya aku mau bicara damai saja, tetapi kau saudara keji yang tidak mau membantu abangnya sendiri.”

“Kau mau memukulku menggunakan kamera?” Arland tertawa terbahak-bahak, kulit keriputnya tertarik lebar membuat matanya ikut tertutup.

“Arland si pengusaha permata kehilangan 100 permata kesayangannya, menuduh salah satu direktur mengambil permata itu.”

Tubuh Arland menegang setelah Ruslan berucap seolah dia tahu segalanya, darahnya berdesir dingin, dan mata terbelalak lebar menyimpan rahasia besar.

“Dia menculik, memperkosa wanita di depan suaminya. Kau menekan mereka sampai mereka memutuskan bunuh diri bersama anak-anak mereka. Salah satu bawahanmu merekam pelecehan itu, aku membeli rekaman itu untuk menyelamatkanmu diam-diam.”

“Ruslan kau-”

“Kebenaran terungkap, yang melarikan semua permatamu adalah putramu sendiri. Dia melakukan itu untuk mendapat perhatianmu, tetapi tidak sadar tindakannya membuat kamu membunuh satu keluarga.”

Arland tergesa ingin menjangkau kamera di atas meja di antara mereka, namun Ruslan telah memperkirakan pergerakan Arland dan berhasil mengamankan buktinya.

“7 Miliar, keluarkan uang segitu agar kau aman.” Ruslan mengancam, mengangkat sudut bibir pada adiknya berekspresi resah. Pasti dia tidak menyangka ada jejak tertinggal yang belum dibersihkan.

Sikap sombong Arland tadi runtuh, menggaruk kasar kepalanya, bernapas terengah-engah serta gemetar. Lalu dia mendongak menatap langit, bahu tegangnya mengendur bersama helaan napas berat. “Aku juga dalam kesulitan,” tutur Arland mengaku.

“Hah?”

“Masyarakat telah kehilangan kepercayaan pada permata yang aku keluarkan. Sulit laku di pasaran mana pun.”

Ruslan mengernyit, memperhatikan bibir gemetar itu bicara lemah.

Tiba-tiba Arland menatap seakan dirinyalah yang seharusnya dikasihani. “Mereka sadar semua permata yang diincar Maigcal Magic adalah permata dari perusahaanku. Maigcal mengincar mereka yang membeli permataku agar merasakan kerugian, lalu akulah yang terkena dampaknya.”

“Ada dendam apa Maigcal Magic denganmu?”

“Aku tidak tahu, sulit sekali menangkap dia, padahal aku sudah menghabiskan banyak uang untuk menyewa orang.”

Ruslan mendengus, dia berdiri melangkah maju bersandar di pembatas balkon menghadap Arland. “Maaf, Arland, aku ingin kau tetap menebus bukti ini seharga 7 Miliar.” Ruslan berbalik badan membelakangi Arland, beralih menatap lurus ke depan. “Putriku akan ikut terbebani jika tahu aku masih memiliki hutang.”

Ruslan tidak tahu Arland menatapnya dengan mata iblis.

“Keya memasak untuk pertama kalinya. Aku tidak sabar memakan masakan Key-AAHH!”

Arland mendorong Ruslan, tubuh Ruslan melesat jatuh dari ketinggian, terhempas di halaman hotel. Arland memandang ke bawah, menggunakan kacamata agar jelas apakah Ruslan di sana masih bisa bergerak.

Tidak! Siapa yang akan selamat ketika jatuh dari ketinggian 11 lantai? Di sana tubuh terkapar Ruslan membuat orang-orang terjerit ketakutan. Ruslan dibanjiri oleh darahnya sendiri.

Arland memungut kamera yang terjatuh di bawah kakinya, tersenyum jahat namun dia basah oleh keringat dingin. “Se-sekarang tidak ada lagi yang tahu tentang kejadian itu.”

Ponsel Ruslan di atas meja tiba-tiba berdering, membuat tubuh Arland tersentak kaget. Dia membiarkan ponsel itu sampai mati sendiri, setelah itu terjadi pesan pun masuk.

[Kenapa lama sekali, Pa? Makan malam kita sudah dingin.]

Mata Arland gemetar membaca nama Keya, teringat kembali senyuman terakhir Ruslan ketika dia berkata akan memakan masakan pertama Keya.

Dia menangis. “Keya, maafkan paman. Maaf, Keya, Ruslan.” Arland sampai berlutut menangis deras, membayangkan Keya menunggu dengan sabar di sana, sementara Ruslan tidak dapat mencicipi masakan pertamanya.

Petugas keamanan datang menanyakan tentang mayat di bawah, dia melihat Arland menangis tersedu-sedu.

“Dia abangku, dia duduk di pembatas sebelum dia kehilangan keseimbangan.” Arland berbohong gemetar, tidak ada saksi, lantas mengakui dia banyak berinteraksi dengan Ruslan sehingga tidak mencurigakan tentang salah satu sidik jari bekas dia mendorong.

[Papa, cepatlah pulang. Aku baru saja memanaskan kembali makan malam kita.]

Bersambung....



The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang