Part 16. Senyumnya terasa hambar.

43 7 1
                                    

"Hei, Lizy, aku mengalami kesulitan di saat kau libur tetapi membawa bukuku bersamamu!" Keya menyindir dari bangkunya, menupang kedua dagu dari siku yang bertumpu di meja. Ia katakan ini di kelas sebab Keya tidak bertemu Lizy di kereta--hanya ada Barly yang diam duduk di kursi biasanya. Karena status mantan, Keya tidak ingin memulai percakapan tanpa Lizy di sana.

Lizy menoleh dalam raut heran, ia angkat sebelah alisnya membentuk busur simetris. "Aku titipkan bukumu pada Maigcal. Dia tidak memberikannya?" Lizy balas bertanya, sembari mata mencari sosok yang biasanya sudah seperti monyet melompat pagi-pagi ini. Namun tidak, Maigcal tidak terlihat di mana pun bahkan kehadirannya sama sekali tidak terasa.

"Maigcal sudah dua hari tidak masuk sekolah, mungkin hari ini juga sama."

"Apa dia sakit, ya? Saat aku menitipkan bukumu padanya, Maigcal memang terlihat berbeda." Lizy mengingat bagaimana raut Maigcal kemarin; pucat, datarnya melebihi Barly.

"Dia juga tidak bisa dihubungi, kalau begitu pulang sekolah aku langsung ke rumahnya."

Ketika matahari lebih condong ke sebelah barat bagai timbangan berat sebelah, kelas berakhir dalam waktu tenang di hari Keya tanpa Maigcal; membosankan, sama sekali tidak ada gairah lalu bertahan sampai bel yang ditunggu berdenting nyaring.

Keya membentangkan payung, menaiki kereta kali ini tidak hanya dengan Barly saja tetapi juga ada Lizy. Sampai di stasiun tujuan, mereka bertiga berjalan bersama mengambil alur yang sama pula--tentu Lizy di tengah, hubungannya dengan Keya lebih hangat dari pada Keya dan Barly.

"Dah, kalau begitu kami masuk duluan, ya. Beritahu aku kalau Maigcal memang sakit. Kami akan membantu."

Keya mengangguk, membiarkan pasangan itu masuk terlebih dahulu ke dalam apartemen, barulah Keya menghadap tegap pintu milik Maigcal. Tangannya melambung menekan sebuah bel. Sekali, dua kali, belum ada respon yang diterima Keya. Apa Maigcal sedang di rumah Paman Sihen? Keya tetap berdiri diam walau telah berpikir seperti itu, tidak ada niat pergi tanpa hasil seperti ini.

"Maigcal," panggil Keya sembari mengetuk-ngetuk pintu. Lalu Keya lega ketika mendengar suara kunci terbuka, seperti harapannya Maigcal ada di dalam.

"Keya, ada apa?" Maigcal tersenyum, hal itu malah membuat ekspresi senang lawan bicara seketika pudar.

Keya mundur spontan satu langkah kecil, bergerak tanpa sadar tentunya. Suaranya tercekat di tenggorokan terasa perih. Maigcal tersenyum, tetapi bukan senyum yang Keya kenali-senyum itu terasa hambar berpasangan dengan mata sayu tanpa semangat. Ada apa ini? Maigcal seperti kerasukan sesuatu.

"Keya?" Maigcal memanggil ulang, kali ini selembut kapas jatuh ke lantai namun secara tidak masuk akal menciptakan getaran hebat.

"Ah, itu, a-aku hanya penasaran kenapa kau tidak masuk sekolah dan tidak bisa dihubungi." Keya berusaha tidak memperlihatkan kecanggungannya, menyembunyikan tangan berpaut dalam genggaman erat di belakang tubuhnya, tiba-tiba Keya ingin sekali pulang.

Pintu masuk dibuka lebar, Maigcal menyingkir dari daun pintu guna mempersilahkan Keya masuk ke dalam. Keya menghembuskan napas berat yang terkesan pasrah, sepertinya dia tidak bisa pulang sekarang-sudah terlanjur di sambut.

Seperti pertama kali Keya datang, rumah Maigcal berantakan tetapi wangi parfum laki-laki itu menyebar alami seperti oksigen. Wangi yang tidak pernah Keya cium pada orang lain.

"Mau minum sesuatu?" tawar Maigcal tanpa menoleh berjelan memimpin di depan.

"Boleh." Keya berhenti tepat di atas karpet tempat Keya tertidur dulu. Dia duduk sopan mencerminkan sebagaimana tamu bersikap. Untuk saat ini ia tidak bisa santai sebab Maigcal terlihat berbeda, Keya cukup peka untuk urusan itu.

The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang