Nyatanya setelah mendengar saran bukan berarti mudah untuk mempraktikkannya. Keya masih tetap dalam pendiriannya. Tetapi ada hal yang berubah: dia memendam bukan takut hubungan mereka rusak, tetapi memang tidak memiliki keberanian untuk maju, ia mengharapkan sedikit dorongan lagi.
"Hari ini aku mau diantar pakai mobil saja," puntanya ketika tengah menikmati sarapan.
"Tumben, bisanya suka naik kereta." Ruslan menyinggung, belakangan ini putrinya kehilangan semangat, entah apa penyebabnya.
Sementara Claire menggeleng-gelengkan kepala sembari menyuap sendok ke dalam mulut. Claire tahu apa masalah Keya, dan sepertinya Keya tidak memakan nasehat Claire malam kemarin. Mungkin Keya sudah menghabiskan hari libur dengan berpikir, Claire lebih baik menjadi penonton saja dari pada memberi dorongan sia-sia.
***
Tinggal beberapa menit lagi bel masuk berdenting keras. Keya turun dari mobil tanpa menoleh ke belakang pada sopir yang menatap punggung lesu sang nona. Ada banyak kejanggalan belakangan ini di rumah majikan, yang paling jelas terlihat berbeda adalah Ruslan dan Keya. Lalu yang tanpa perubahan hanya Claire, sementara Rosa tidak lagi begitu ramah.
"Apa yang sedang menimpa keluarga mereka?" Sopir bergumam, lantas pergi dari gerbang sekolah.
Keya sampai di kelas, sebisa mungkin dia tidak melihat tempat duduk Maigcal dan tidak tahu apakah laki-laki itu ada di sana. Mata Keya lurus langsung menembak tempat duduknya sendiri, berjalan anggun layaknya wanita bangsawan.
"Kau tidak bersama Maigcal hari ini?" Izkil bertanya, menoleh pada Maigcal yang sejak kedatangan Keya dia memperhatikan. Mereka berdua tampak memiliki masalah, Izkil penasaran apa itu. Kemudian Izkil kembali melihat Keya, gadis itu telah menyusun buku di atas meja bahkan saat bel belum bersuara.
"Keya?" tegur Izkil sekali lagi. Dan lagi dia melihat Maigcal di belakang dalam barisan tengah, masih melihat punggung Keya.
"Tidak. Hari ini aku diantar." Keya berusaha sebaik mungkin mempertahankan topengnya.
Izkil sekarang yakin sekali ada masalah di antara mereka, bahkan dimulai sejak pekan lalu, dan hari ini puncaknya melihat Maigcal tak lagi menempel pada Keya seperti pacat lapar.
"Setelah istirahat pertama nanti, Maigcal akan berangkat ke luar kota. Kau tahu, kan?" Izkil melirik dari ujung matanya, mendapatkan gerak Keya berhenti mengeluarkan isi tas. Dia tidak tahu, pikir Izkil.
Keya membungkam mulut, menahan rasa penasaran kenapa Maigcal akan pergi ke luar kota. Tangannya bergerak tak tentu arah, melambung tak beralasan seolah jarinya baru saja tertusuk jarum dari tasnya, lantas Keya menatap lekat jari lentiknya dan sadar dia tengah salah tingkah.
"Semoga Maigcal membawa pulang piala besar lomba cerdas cermat. Selama seminggu dia akan bertarung demi nama sekolah." Izkil menambahkan, memberitahu Keya tanpa menyinggung gadis yang sepertinya sama sekali tidak tahu akan keberangkatan Maigcal dan tujuannya.
"Hmm." Tangan Keya terhempas jatuh ke atas buku-buku yang menumpuk. Entah lega atau bagaimana, yang jelas seminggu ke depan Keya tidak melihat Maigcal. Mungkin itu sedikit membantu untuk mendorong Keya terbiasa tanpa laki-laki itu.
Lega, ya? Apa benar akan seperti itu? Tiba-tiba Keya meragukan hal tersebut.
Keya mengambil cermin kecil dari sakunya, berpura-pura tengah menambah bedak padahal perlahan cermin itu mengarah pada Maigcal.
'Astaga!'
Keya sontak menutup cerminnya, dia tertangkap basah oleh Maigcal sendiri yang tahu Keya mengintip dirinya dari cermin. Menyeramkan, Maigcal menatap tajam tanpa ekspresi tadi. Barly yang tepat di samping Maigcal bahkan kalah dingin, padahal Barly sendiri dinobatkan sebagai Pangeran Es.
'Apa yang lain tidak sadar Maigcal tengah berekspresi seram seperti itu?'
Keya memperhatikan sekitar, tetapi semua sibuk dengan rekan satu meja masing-masing, kecuali satu orang, yaitu Izkil yang duduk tegap padahal biasanya dia berisik.
"Izkil?" panggil Keya, memiringkan kepala mencermati laki-laki itu.
"Keya, sejak tadi dia seseram itu menatapmu. Punggungku hampir bolong karena berada tepat di sampingmu. Kau pergi tenangkan dia, aku merasa malaikat maut tengah mengintai kita."
Keya menggeleng cepat. "A-abaikan saja, sebentar lagi guru datang dan dia akan tidur setelah itu."
"Sebenarnya ada apa dengan kalian?"
"Tidak ada apa-apa."
"Mana mungkin aku bisa bercaya."
Keya mendesah berat, pantas saja Izkil sejak tadi membahas Maigcal, Izkil sadar temannya menampakkan ekspresi jahat tidak seperti Maigcal yang ia kenal. Sejak datang, Maigcal tidak bertingkah sama sekali; duduk diam menenggelamkan diri dalam lipatan tangan di meja. Mungkin orang-orang mengira Maigcal memulai ritual tidur di kelas lebih awal hari ini.
***
Para murid yang akan berangkat rata-rata telah berkumpul di luar, Keya melihat dari jendela lantai dua bus datang siap menampung dan mengantar sampai ke tujuan.
'Di mana dia?'
Keya tidak dapat melihat Maigcal di bawah, menoleh ke sana ke mari tak sadar dia sangat antusias.
"Apa yang kau cari?"
Seketika tubuh Keya menegang, debaran panas berdentum bagai drum festival meriah. Gambaran laki-laki marah dalam pantulan cermin melintas gesit dalam otaknya, kini tubuh Keya kaku tidak berani bergerak. Mungkin tekanan yang ia rasakan menggerogoti keberaniannya.
"Sedang mencari orang yang kau jauhi, Keya?"
Ini mengerikan, Keya tidak mampu berbalik badan, hanya mendengarkan suara lembut berisik di telinganya. Dia begitu dekat, Keya bisa merasakan punggungnya menempel pada laki-laki itu.
"Ma-Maigcal, kenapa kau tidak bersiap-siap?" Keya menekan kusen jendela, menahan tubuh yang kehilangan tenaga. Laki-laki ini seperti hantu melayang, langkahnya tidak bersuara sehingga Keya tidak dapat mengantisipasi--muncul tiba-tiba lalu hilang tanpa jejak.
Maigcal memberi jarak, membalik tubuh Keya agar menatapnya. "Kau terus menjauhi aku, Keya. Kenapa? Apa kesalahanku?"
Kepala Keya tertunduk, bagaimana dia sanggup melihat wajah kesal itu? Dan alasan seperti apa yang dapat membantu Keya? Ini menyesakkan, Keya kesulitan bernapas dalam tekanan seperti ini.
"Ti-tidak," gumamnya pelan.
"Jujur saja, jangan berbohong lagi."
Jujur, ya? Bahu Keya melemas, mulai mengingat kembali perkataan Claire kemarin. Haruskah dia lakukan? Jujur? Itu sulit. Keberanian, Keya butuh sedikit lagi dorongan, hanya sedikit.
"Aku ingin tahu kenapa tiba-tiba membenciku?"
"Membenci?" Keya mendongak, menggelenge-gelengkan kepala menolak tuduhan Maigcal. Dia tatap meta pekat Maigcal dalam, membiarkan laki-laki itu melihat kilauan mata Keya membentuk bendungan air. "Aku tidak membencimu, tapi ...."
"Tapi apa?" Menuntut sekaligus takut.
"... Aku mencintaimu. Maaf." Keya tersenyum kecut melihat Maigcal melangkah mundur, dan dia sudah mendapat jawaban dari reaksi tersambar Maigcal.
Ketakutan Maigcal menang, padahal dia sengaja mengatakan jelas pada Keya bahwa dia tidak akan menjalin hubungan selagi dia masih sekolah. Berharap meruntuhkan jembatan kutukan yang biasa dilewati oleh persahabatan lawan jenis.
"Aku tahu, Maigcal. Aku sadar, maka dari itu aku menjauhimu." Lantas Keya berbalik badan menghadap jendela. "Jadi ... biarkan aku memadamkan perasaanku yang tidak kau inginkan ini."
"Begitu, ya." Maigcal juga berbalik bedan, mereka berdua saling membelakangi menyembunyikan ekspresi masing-masing. "Aku mengerti. Semoga kau berhasil." Dan Maigcal pun pergi, kali ini suara langkahnya terdengar jelas seperti ketukan perpisahan saat dunia kiamat.
"Ya." Keya bergumam pelan, menahan suara gemetar yang mengguncang setiap indranya. "Sampai jumpa."
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Key to Magic
Teen FictionKeajaiban? Itu tanggapan Keya ketika melihat pesulap semasa kecil. Setelah tumbuh besar Keya tidak sengaja bertemu Maigcal Magic, nama populer sebagai buronan yang mencuri menggunakan trik sulap tak masuk akal. Bagaimana kisah mereka? Akankah Keya...