42. Jangan pergi.

43 10 1
                                    

Jembatan kereta api di atas aliran sungai deras, tempat yang selalu menarik perhatian Keya ketika dia berada di dalam karena setiap saat. Hari ini alirannya lebih deras, mengikis tepian dan menyeret pohon. Kemungkinan cuaca di sisi hilir sungai sedang tidak bagus. Keya berdiri di tengah jembatan rel, tatapan matanya kosong seperti jiwanya telah dulu pergi.

Sekarang Keya mengerti kenapa tempat ini selalu menarik perhatiannya, dia memanggil Keya, memberitahu bahwa Keya akan datang dalam keadaan putus asa.

Isi pikiran Keya seolah sedang bertempur, berisik sekali, dan terus memunculkan gambaran ketika dia digilir pria hidung belang. “Diam!” pekik Keya menutup kupingnya, berteriak, lantas memukul-mukul kepalanya berusaha membungkam bising.

“Ayo lompat ke sini.” Suara yang tidak Keya kenal, perlahan-lahan Keya membuka mata, mencari siapa yang memanggilnya.

“Di bawah,” lanjutnya menyerupai gadis polos nan suci tengah mendongak sembari merentangkan tangan siap menyambut.

Keya menunduk ke bawah. Aliran menyeramkan di bawah sana mendadak tampak indah, berbeda jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Tidak ada arus, ada beberapa angsa berenang, burung merpati putih berterbangan di atasnya, para gadis cantik menari, bunga-bunga menghiasi tepian, Ruslan dan Maigcal tengah berenang juga saling tertawa.

Keya melihat surga memanggilnya.

“Kau akan merasa lebih baik setelah bergabung dengan kami.” Si gadis tersenyum manis, sambil ia menunjuk-nunjuk dua orang cowok tengah berenang di air jernih serta tenang. “Kemarilah, sudah saatnya kau istirahat. Sudah lelah, kan?”

Keya mengangguk, matanya gemetar memandang keindahan yang nyaman di bawah sana. Gadis itu mengerti perasaan Keya.

“Ayo lompat. Mereka tidak akan menemukanmu di sini. Aku janji, karena kami juga sedang bersembunyi.”

Keya berdiri manatap ke bawah, wajah putus adanya tiba-tiba tersenyum. Satu kakinya terulur ke depan menginjak udara, tubuhnya terhuyung ke bawah, gadis di bawah itu masih menunggunya dengan tangan terentang.

“Kemarilah, gadis pintar,” ucapnya.

Keya menjatuhkan diri, melayang di udara sebelum dia mendarat ke dalam pelukan gadis yang mengundang dan berjanji bahwa dia tidak akan ditemukan oleh siapa pun di sini.

‘Mereka tidak akan menemukan aku. Aku aman.” Keya juga merentangkan tangan, bersiap memeluk kematiannya.

Greb!

Belum sempat Keya menyentuh ujung jari kematiannya, tubuhnya kembali melambung ke atas. Keya terbelalak karena tiba-tiba gadis itu dan segala keindahan tadi lenyap—kembali menjadi aliran menyeramkan.

“Tidak! Jangan pergi!” Keya menjerit, memberontak ingin kembali melompat.

Dia mendarat di atas jembatan, ingin melompat tapi tubuhnya terbelenggu sesuatu yang tidak ia tahu apa itu.

“Lepas!”

Plak!

Tamparan keras membekas di pipinya, seketika Keya mendapatkan kewarasannya kembali. Dia memegang pipi yang memanas, memandang bingung pria berjubah bermata kemarahan.

“Ma-Maigcal!”

“Apa yang kau lakukan, sialan!” Maigcal memebentak, mengguncang tubuh Keya. “Bunuh diri bukan jalan keluar.” Suara Maigcal gemetar, pun seluruh tubuhnya.

Maigcal ketakutan setengah mati, telat sedetik saja maka dia tidak akan pernah melihat Keya lagi untuk selamanya. Kemudian dia memeluk Keya erat-erat, meluruhkan segala kecemasan dalam dekapan itu.

The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang