Epilog.

54 7 6
                                    

Butiran kristal lembut turun ke perairan biru tampak tenang, awan tebal di atas sana pun diam di tempatnya. Jaket tebal, kaos tangan tebal, syal, dan topi rajut, ternyata tidak cukup menghalau suhu dingin di bawah guyuran salju. Sebelah tangan Keya menampung butiran putih halus, kemudian menatap lurus pada luasnya lautan.

Dia berada di sebuah kapal pesiar nan besar, terpaksa keluar kendati penumpang lain mencari kehangatan di dalam.

Kemudian dia menunduk ke bawah, sosok tangan kecil yang ia gandeng seakan tidak merasakan suhu menusuk ini. “Ayo masuk, nanti Papa marah, loh,” ucap Keya padanya.

“Tapi lautnya belum penuh sama salju. Aku mau melihat sampai penuh, Mama!” Dia memancungkan bibir, anak laki-laki berusia 5 tahun yang sangat mirip dengan papanya dalam segi rupa.

“Haikal, ayo masuk sebelum ketahuan Papa.”

“Sudah ketahuan,” sahut pria tegap dengan tangan yang terlipat di dada. Suaranya mampu membuat ibu dan anak itu menoleh secara pelan, seperti melihat sesuatu yang horor. “Tidak ada siapapun di sini, kalau terpeleset dan terjatuh ke bawah bagaimana? Siapa yang akan tahu?”

“Ma-Maigcal! Jangan sembarangan ngomong.” Keya bergidik ngeri. Ya, mereka sudah menikah delapan tahun yang lalu, memiliki satu anak laki-laki dari hasil pernikahan itu.

Kemudian Maigcal melirik anaknya, Haikal kontan bersembunyi di kaki Keya. Dia tahu telah membuat papanya marah, membuat mamanya kedinginan oleh tingkahnya. Gawat jika dia disuruh tidur dengan Zoe lagi, beruang milik papanya.

“Maaf, Papa,” cicit Haikal mengintip-intip memastikan Maigcal telah berekspresi kendur. Tampak papanya menghela napas berat, tersenyum sambari ia mengulurkan tangan menawarkan Haikal untuk digendong. Setelah itu Haikal berani berlari ke arah Maigcal.

“Papa tujuan kita ke mana? Kenapa tidak membawa rombongan tenda?”

“Kita akan pergi ke pernikahan teman masa SMA papa dan mama. Di negara tropis yang memiliki tanah subur dan alam yang kaya.”

Haikal tersenyum sumringah, melirik Keya untuk mencari kebenaran, anggukan Keya membuat dia bersorak keras. “Akhirnya! Keluar juga dari pemandangan tumpukan putih.”

Keya mengernyit. “Tadi siapa yang menunggu lautan tertimbun salju? Kenapa sekarang tampak tidak suka?”

“Aku hanya memastikan itu tidak terjadi, Mama. Atau kapal tidak bisa berjalan.”

Mereka masuk ke kapal, kembali ke kamar guna menghangatkan diri. Haikal langsung tertidur tak lama di luar telah gelap gulita, merasakan Keya yang membantu Maigcal mengeringkan rambut setelah pria itu mandi.

“Sudah 10 tahun kita enggak menginjak tanah negara kita. Rindu semuanya,” tutur Keya pelan dan bermata satu yang tenggelam dalam nostalgia.

“Lebih anehnya Izkil dan Mary yang akan menikah.” Maigcal tertawa geli, namun karena merekalah dia memutuskan kembali sebagai tamu. Pernikahan tersebut sekaligus menjadi ajang reuni kelas masa SMA.

Sampailah pada waktu itu, teman-teman kelas semuanya hadir, mereka bersorak ketika Maigcal dan Keya datang. Wajar, sudah 10 tahun tidak bertemu dengan pasangan yang sudah mereka tebak sejak lama, menjadi suami-istri.

“Astaga dia anakmu? Mirip banget dengan Maigcal.” Mary dan Keya saling berpelukan.

Tiba-tiba Haikal mengeluarkan bunga mawar di tangannya. “Untukmu, Tante,” ucap Maigcal membuat Mary dan Izkil tertawa.

“Aku yakin dia akan menjadi pesulap seperti pesulap juga,” Izkil menggunjing bercanda.

Turun ke bawah, bergabung dengan Lizy dan Barly. Mereka memiliki dua anak—menikah lebih dulu di antara yang lain—si sulung ialah perempuan 7 tahun, sedangkan bungsu laki-laki dua tahun.

“Sudah dua aja anak kalian,” sunggung Maigcal menggoda Barly sembari menyikut-nyikut perutnya.

“Kau juga buat lagi lah. Masa cuman satu?” Barly membalas.

“Anakku masih kecil Pak Inspektur. Jadi-”

“Kakak menikahlah denganku!” Haikal berhasil merebut perhatian para undangan. Pria kecil itu berlutut memegang sekuntum bunga mawar dari telapak tangannya yang tadi kosong.

Targetnya adalah anak perempuan Barly yang cantik dengan gaun seperti tuan putri serta mahkota bunga. Haikal berhasil mengundang tawa. Sementara Keya dan Maigcal menepuk jidat. Anaknya itu tidak tahan melihat gadis cantik, melamar begitu saja.

“Mahar anakku mahal, Maigcal. Tapi aku yakin bukan masalah untuk seorang Maigcal Magic,” ucap Lizy, Barly pun mengangguk setuju.

Keajaiban? Rasanya semua sesuatu di dunia ini merupakan keajaiban, begitu pula pertemuan insan. Sesuatu yang patut disyukuri oleh Keya, sebab ia menemukan sosok tembok kuat untuk dirinya bersandar, lantas kebahagiaan tidak terkira dapat menerimanya untuk menggenggam kenyamanan.

Bukan tembok, tapi suaminya, Maigcal. Terima kasih telah mengulurkan tangan, lika-liku kehidupan, pertengkaran, ia bersumpah tidak akan ada perpisahan selama mereka masih hidup. Menjadi istri mulia, dan ibu yang bertanggung-jawab.

T A M A T

The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang