Part 9. Mengandalkanmu

40 8 1
                                    

"Oh, iya, kerjakan sama teman sebangku saja biar cepat."

Itu adalah kata penutup dari guru untuk mengakhiri kelas terakhir ini. Keya melirik Maigcal, lantas Keya tersenyum bangga mengetahui dia tidak perlu bersusah payang mengerjakan tugas sebab ada Maigcal yang sangat bisa diandalkan.

"Di rumahku atau di rumahmu?" tanya Maigcal membalas tatapan Keya.

"Kakakku sedang tantrum, di rumahmu saja," balas Keya melempar senyum semanis mungkin. Bisa ia rasakan tatapan iri dari teman sekitar, pasti ingin menyeret Maigcal untuk duduk sebangku bersama mereka. Bagaimanapun tugas ini sulit bagi Keya pun mereka, tetapi dengan memiliki anak terpintar di kelas, masalah Keya teratasi. Dia menjadi gadis dengan senyum paling lebar akan tugas kali ini.

Mary dan Izkil memandang di depan sana sama-sama berwajah masam, mereka berada dalam satu kelompok sementara tidak ada yang lebih unggul di antara mereka berdua.

"Ehem, kami boleh gabung bersama kalian, enggak?" Izkil bergerak cepat, memijat bahu Maigcal niat untuk menjilatnya.

Namun Keya mendorong Izkil, menghadang siapa pun yang hendak mendekati Maaf. Tangan ia rentangkan, bagai induk ayam yang berusaha melindungi anak-anak dari serangan elang. Nyatanya hanya Izkil yang paling berusaha, sementara Mary berada di sudut meringkuk memikirkan nasib malang.

Tepat ketika awan besar menghadang matahari, Keya bersorak melompat mendekati jendela, membiarkan Izkil merengek-rengek di kaki Maigcal yang malah tertawa di atas kesulitan temannya.

"Maigcal! Di luar teduh, ayo kita pulang sekarang!" sorak Keya semangat, menunjuk-nunjuk langit yang dikotori oleh gumpalan awan tebal serta banyak. Pun angin tidak terasa, membuat Keya yakin awan besar di atas sana akan bergerak lambat setidaknya sampai Keya dan Maigcal tiba di stasiun.

Maigcal menarik kaki dari Izkil, menyusul Keya dengan segala kebahagiaannya--siap berjalan tanpa payung membentang di atas kepala, menunjukkan pada dunia bahwa Keya memiliki wajah yang cantik dan kulit seputih telur rebus.

Keluar dari gerbang, kepala Keya terangkat tegap, menonjolkan kesombongan tiada lawan untuk hal sepele hanya karena dia berjalan di luar tanpa payung. Entah kenapa Maigcal yang merasa malu, mencoba melambatkan langkah agar tidak beriringan dengan Keya. Dia berhasil. Dua meter di depan sana, Keya menegur Lizy dan Barly, lalu melangkah lebih cepat untuk menunjukkan kesenangannya.

Lizy dan Barly menoleh ke belakang, pada Maigcal yang malah menggunakan payung Keya untuk menutupi muka.

Lizy tertawa, rada lucu melihat sosok yang tidak tahu malu kini merasa malu.

"Aku mengerti kenapa Keya begitu senang. Sudah lama panas berkepanjangan menerpa, tidak memberikan Keya kesempatan untuk berada di bawah langit tanpa payung."

"Iya." Barly tersenyum tipis menatap punggung Keya.

Tiba di kereta, seperti biasa empat orang tersebut selalu berada di gerbong yang sama, serta duduk bersebelahan sembari menguping pembicaraan masing-masing. Maigcal dan Keya vs Barly dan Lizy, mereka bukanlah teman dekat, hanya saja terlihat seperti itu mengingat setiap hari turun dan naik dari kereta yang sama.

"Turun dari kereta kita berjumpa lagi, ya, Keya," ucap Lizy antusias. Belum ada tanda-tanda Lizy akan menjadi antagonis dalam hidup Keya, mungkin dia sama sekali tidak ada niat untuk itu.

"Benar." Keya menjawab tidak kalah ramah, tidak ada alasan bagi Keya untuk memusuhi Lizy lagi. Sepenuhnya dia sudah mengikhlaskan Barly, ingat?

"Kau beruntung, Maigcal sangat pintar."

"Kau juga, Lizy. Anak kepala polisi itu akan menjadi juara satu jika tidak ada si pesulap konyol di sekolah kita."

Mereka berdua tertawa, sementara yang dibicarakan hanya diam seolah mereka tidak mendengar apa-apa dari pembicaraan dua gadis di samping masing-masing--Maigcal mempel di sisi jendela kanan, Barly menempel di sisi jendela kiri gerbong.

The Key to MagicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang