PROLOG

21.7K 757 5
                                    


⚠️WARNING ADULT STORIES!

Udah follow belum? Kalau belum follow dulu dong+masukkan ke perpus biar dapat notif dari aku TERCINTAH💋

Jangan hanya baca, tinggalkan vote+komen kalian.

JANGAN SIDER!

____

Hembusan nafas lelah keluar dari mulut seorang pria berkemeja hitam dimeja makan. Sudah dua Minggu ia merasa sangat kesepian tanpa kehadiran kakak dan keponakannya. Pasalnya mereka kini tengah menikmati liburan akhir tahun disebuah negara. Ia yang awalnya diajak oleh mereka, menolak karena ia tak suka keramaian. Namun siapa sangka, mereka semua pergi lebih dari batas waktu yang mereka sebutkan.

Pria bernama Daniel itupun mengacak-acak rambutnya frustasi. Lama-lama ia bisa gila didalam mansion mewah yang sepi itu. Tak pernah terpikirkan sebelumnya, kenapa ia bisa merasa sepi seperti ini? Bukankah dulu ia terbiasa hidup sendiri didalam kegelapan?

Daniel merogoh saku celananya. Ia tadinya berencana mencari hiburan lewat handphone saja. Namun tiba-tiba saja ia ingin mengunjungi seseorang yang sangat patuh kepadanya dulu. Mantan tangan kanannya yang dulu menjengkelkan malah membuat Daniel rindu kepadanya.

____

"Berdiri disana menghadap tembok! Jangan lepaskan tangan kalian dari telinga masing-masing!"

Perintah dari kepala panti itu membuat Nino memutar bola matanya malas. Ia kini tengah menjalani hukuman dengan cara berdiri satu kaki dengan tangan menjewer telinga masing-masing. Ia tidak sendirian disana. Melainkan bersama seorang bocah seumurannya yang polos, lugu dan imut dengan pipi tembam miliknya.

Nino tersenyum masam melihat raut wajah sahabatnya. Ia terlihat murung dan merasa sangat bersalah karena melakukan hal yang tidak sesuai dengan citranya itu. Dengan hembusan nafas yang lelah, Nino menatap lekat Evan yang memalingkan muka dari dirinya.

"Maaf ya, gara-gara gue lo malah ikut dihukum sama kepala panti," ungkap Nino dengan penuh penyesalan. Bocah disampingnya tidak menoleh sedikitpun kepada Nino. Sorot mata itu terlihat sangat marah kepadanya, karena melibatkan dirinya yang tidak tau apa-apa.

"Eum, sebagai permintaan maaf gue, lo gue lepasin."

Pernyataan yang keluar dari mulut Nino lantas membuat Evan mengangkat kepalanya. Ia langsung menatap heran Nino. Namun, bocah yang lebih tinggi darinya itu tak segera menggubris tatapannya.

Nino menerbitkan senyum manisnya. Manik mata bulat itu terlihat tak percaya dengan penuturannya barusan. "Gue janji, kali ini lo bakal gue lepasin," sambungnya meyakinkan sahabatnya itu. Jujur saja, sudah ribuan kali ia membuat Evan yang tidak bersalah terseret bersamanya. Dan ribuan kali juga ia meminta maaf dan diangguki oleh bocah imut itu. Namun, tadi nampaknya Evan sudah mulai lelah dengan semua omong kosong Nino yang selalu mengusik kehidupan tenangnya. Ditambah ia harusnya sudah meninggalkan panti yang menyedihkan ini dari lama. Namun, semua itu ditahan oleh Nino yang tak ingin kehilangan Evan dari sisinya.

Evan kembali membuang wajahnya ke arah berlawanan. "Jangan sampai yang satu ini, kamu omong kosong lagi," tuturnya penuh penekanan.

Suara pintu yang terbuka membuat Nino kembali ke posisi awal. Mereka berdua sama sekali tidak berbalik untuk melihat siapa yang datang kesana. Mereka hanya fokus dengan hukuman dengan tatapan lurus mengarah pada dinding didepan mereka.

"Silahkan duduk, Bos." Terdengar suara kepala panti menyuruh seseorang untuk duduk disofa ruangan itu. Pria yang disuruh duduk pun menatap datar dua punggung anak yang ada disudut ruangan. Setelahnya ia mendudukkan tubuhnya ke sofa tunggal yang ada disana.

"Bagaimana kalau Bos mengadopsi anak saja disini?" Sang kepala langsung memberikan saran setelah ikut duduk berseberangan dengan pria yang bernama Daniel itu. Sebelumnya mereka sempat mengobrol sebentar diluar tentang pria tersebut yang merasa kesepian dirumah. Niat Daniel ingin meminta saran. Bagaimana jika ia kembali ke jalan kegelapan seperti dulu? Namun itu semua langsung dicegat kepala panti dengan alasan sudah waktunya menikmati masa tua dengan tenang.

"Aku benci anak kecil," jawab singkat pria dingin itu. Sang kepala panti pun mengerut menatap pria didepannya. "Bagaimana dengan anak-anak Jeano? Bukankah mereka tinggal di mansion mu, Bos?" tanya kepala panti hati-hati.

"Mereka lahir dan besar di Sydney. Mereka memutuskan tinggal di mansion ketika si bungsu sudah berumur lima belas."

Hansen yang menempatkan dirinya sebagai kepala panti, hanya manggut-manggut paham. Atensinya kini teralihkan kepada punggung yang berdiri disudut ruangan. "Kalian, kemarilah," perintahnya menggoyangkan tangan dan membuat dua punggung itu lantas berbalik dan menurut.

"Mereka berdua sudah lima belas tahun. Silahkan Bos lihat-lihat dulu. Siapa tau tertarik?" Hansen pun akhirnya menyandarkan punggungnya dengan kaki yang ia silangkan. Nino tampak membuang wajahnya kearah lain. Ia ingin menepati janjinya kepada Evan, yaitu melepaskannya kepada sang pengadopsi. Meskipun ia tau bocah imut itu pasti akan langsung membuat hati pengadopsi luluh tanpa ia menyingkirkan wajahnya dari sana.

Daniel akhirnya melirik Nino yang sedari tadi membuang wajahnya. Satu alis terangkat melihat tindakan Nino yang berusaha keras menutupi wajahnya. Kenapa anak disampingnya ini? Apakah ia tidak mau hidup dengan bebas diluar panti? Atau ia takut dengan pria mengerikan seperti Daniel?

"Tatap aku, nak!" perintah Daniel dingin dibalas gelengan dari Nino. "Gak mau nanti om sukak lagi sama aku. Udah lah om bawa Evan cepat-cepat! Sama gak boleh macem-macem sama Evan!" perintah Nino balik membuat dua bodyguard Daniel melempar tatapan tajam kepadanya.

"Macam-macam?" Daniel menanyakan hal yang membuatnya agak linglung. Ia mengangkat tangannya sebagai tanda menyuruh berhenti kepada bodyguard yang siap menghukum bocah itu. "Iya! Om gak boleh macam-macam sama Evan! Om cuma boleh jadiin dia anak, gak lebih!" terang Nino yang akhirnya menatap Daniel. Pria tersebut dapat melihat alis tebal itu bertaut kepadanya. Berani sekali bocah kecil seperti Nino menatap dirinya seperti itu?

"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali lagi besok." Tanpa aba-aba Daniel berdiri dari duduknya dan melenggang pergi diikuti kedua bodyguard miliknya. "BOS GAK JADI NGAMBIL SALAH SATU DARI MEREKA?" teriak Hansen tak mengejar memastikan agar dia bisa mengurusnya semua dokumen penting secepatnya. Namun, teriakannya tak dibalas oleh mantan Bosnya itu. Setelahnya ia merogoh sakunya dan mengirimkan pesan yang sama seperti teriakannya tadi.

Disisi lain didalam sebuah mobil, pria berkemeja itu tengah menatap padatnya jalanan disiang itu. Garis bibirnya menarik senyum tipis yang amat tipis. Pikirannya tak pernah berhenti memikirkan apa yang ia lihat barusan. Menarik.

____

Hadeh dasar om pedo. Tapi gak tau juga kedepannya gimana. Hai readers thanks udah mampir. Jangan lupa vote+komen karena itu gratis tanpa dipungut biaya apalagi sampai dipotong pajak. Jangan lupa follow akun ku ya.

⚠️JANGAN SIDER, HARGAI AUTHOR YANG GILA MENCARI IDE! VOTE+KOMEN APAPUN SAYA TERIMA. RAMAIKAN AJA PROLOG INI, TERIMAKASIH SENGKU TERCINTAH💋SEMOGA DICINTAI BALIK SAMA DIA YAH.

NOT MY FATHER! (1821)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang