Happy reading 🌷🌷
Pergerakan tangannya terhenti ketika sang kekasih menanyakan perihal kedua orangtuanya. Ia letakkan makanan itu di bawah.
Tanpa sadar cairan bening mengalir dari pelupuk matanya, jika di tanya rindu Kara akui ia sangat merindukan kedua orangtuanya.
Selepas pertengkaran kemarin, rumah menjadi dingin. Bahkan di saat mereka berada di dalam satu bangunan rasanya benar-benar sangat asing.
Kini yang tersisa hanya Kara dan bik Inem di dalam bangunan sebesar itu. Bangunan yang katanya rumah, tempat paling nyaman saat kita merasa lelah. Namun bagi Kara tidak, rumah bukan lagi tempat paling nyaman untuk ia pulang.
Kosong, hampa, sunyi.
"Mau cerita?" tanya Abin menghapus air mata di pipi Kara.
"Mereka selalu sibuk, yang di pikirin cuma pekerjaan, pekerjaan, pekerjaan. Gue gak tau apa yang mereka kejar sampai segitunya, apa mereka belum cukup dengan segala sesuatu yang sudah di miliki?" tatapannya kosong, namun air matanya terus mengalir dari pelupuk mata itu.
"Gue cuma pengen di perhatiin, apa salah seorang anak meminta itu ke orang tuanya? Dari smp sampai sma gue gak pernah dapat kasih sayang dari mereka. Mereka cuma pengen di mengerti tapi gak pernah ngertiin gue." ada rasa sesak yang menyelimuti hati Kara.
"Gue kesepian, gak ada yang bisa gue ajak berbicara di rumah. Gak ada tempat buat mencurahkan isi hati gue. Mereka tuntut gue biar dapat nilai sempurna tapi gak pernah ada apresiasi yang gue dapat." Abin lantas memeluk Kara, ia usap rambut Kara agar lebih tenang.
"Bahkan di pengambilan raport yang datang bibi, apa sesulit itu meluangkan waktu?" tangisan Kara terendam di dada bidang milik Abin.
"Setiap pulang ke rumah pun mereka gak nanyain gimana kabar gue, tapi selalu perihal nilai, bolos, nilai, bolos. Sering di bentak perkara keluar malam sama sahabat gue. Kalo gue gak ngelakuin hal itu mau ngapain gue di rumah segede itu sendirian, gue cuma pengen ngalihin rasa kesepian gue."
Dibalik canda tawanya bersama para sahabatnya Kara ternyata kesepian. Ia hanya bisa merasakan kehangatan jika sudah di luar. Ia hanya butuh sedikit saja rasa perhatian dari orang tuanya.
"Gue gak tau mereka beneran sibuk sama pekerjaan atau sibuk sama orang lain. Mereka benar-benar udah gila kerja, sampai lupa bahwa mereka punya anak yang masih butuh perna orang tua."
"Mungkin mereka beneran sibuk, coba deh pikirin lagi. Kalo orang tua lo ga sibuk ngurusin pekerjaan, kehidupan lo pasti gak kayak gini. Dengar, di luaran sana masih banyak orang yang gak seberuntung lo jadi coba belajar bersyukur."
"Gue tau Bin, tapi di satu sisi gue juga masih butuh peran mereka. Gue iri sama orang-orang yang bisa cerita tentang semua hal ke orang tuanya."
Abin menangkup wajah Kara, pandangan mereka bertemu hanya sesaat. Abin tatap karya yang Tuhan buat, iris mata berwarna coklat, hidung mancung, dengan bulu mata lentiknya.
Ia usap air mata yang tak berhenti turun, ia elus pipi berisi milik Kara. Ia pandang iris mata berwarna coklat itu.
"Sekarang ada gue, lo bisa cerita semuanya ke gue. Mau a-z pun akan gue dengerin, kalo lo kesepian bisa call gue. Kita keliling cari makan ataupun ketempat yang lo suka. Kita usahain kebahagian lo, gue siap jadi rumah kedua di kala bangunan yang lo sebut rumah bukan lagi tempat paling nyaman saat lo pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐔𝐏𝐄𝐊𝐒𝐇𝐀
Teen Fiction⚠️𝟏𝟖+ 𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐢𝐧𝐢 𝐦𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧𝐝𝐮𝐧𝐠 𝐤𝐚𝐭𝐚-𝐤𝐚𝐭𝐚 𝐤𝐚𝐬𝐚𝐫⚠️ 𝐀𝐭𝐦𝐚 𝐢𝐭𝐮 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐤𝐬𝐚, 𝐦𝐞𝐧𝐲𝐢𝐬𝐢𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐫𝐞𝐧𝐣𝐚𝐧𝐚 𝐲𝐠 𝐭𝐚𝐤 𝐤𝐮𝐧𝐣𝐮𝐧𝐠 𝐩𝐚𝐝𝐚𝐦 𝐝𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐝𝐲𝐚𝐤𝐚𝐥𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐬𝐚𝐤𝐬𝐢 𝐛...