SY ; Two

229 19 31
                                    

Seperti biasa, saya tidak akan lupa mengingatkan untuk tekan vote-nya dan komen di setiap paragraf!!!

Happy reading!

~•~

"Tanpa kau sadari kau telah merusak harapan hidup seseorang."

—Lavender Maelys Federico—

"Aku menganggapmu sebagai istri bukan hanya sekedar gelar saja."

—Valerio Asher Konan—

~•~

Aku membuka mataku perlahan saat sinar matahari menyorot netraku masuk lewat celah gorden. Kesadaranku seketika terkumpul saat pikiranku malah langsung tertuju pada kenyataan bahwa sekarang aku adalah seorang istri. Lalu aku melirik ke arah samping di mana Valerio tidur. Aku menghela napas lega tatkala tidak menemukan sosoknya di sana.

Jika bertanya apakah kami melakukannya semalam? Syukurnya, kami tidak melakukan hal itu dan keperawananku masih aman. Tapi tetap saja aku takut dia memintanya tiba-tiba atau memaksaku andai aku menolaknya lagi. Setelah membuat perjanjian, kami langsung tidur tanpa bercengkerama apa pun lagi. Omong-omong, entah kenapa aku dapat tidur pulas mengingat aku berada di tempat asing. Mungkin aku merasa lelah dan tubuhku lemas? Ya, tidak heran lagi.

Aku hendak turun dari ranjang, tapi pergerakanku terhenti saat pintu kamar apartemen terbuka dan menampilkan sosok jangkungnya. Lagi-lagi mataku terpaku pada parasnya yang entah kenapa tidak bosan untuk dipandang. Bahkan aku seperti tersihir. Aku bertanya-tanya, apakah dia manusia sungguhan? Meski wajahnya tidak menampilkan ekspresi, tapi aku tidak bisa menyangkalnya bahwa dia terlihat seperti dewa.

Sepertinya aku sudah gila karena telah mengangumi orang yang bahkan tidak aku kenal dan orang yang dapat merubah nasibku menjadi buruk seperti ini. Tapi, apakah aku salah mengangumi suamiku sendiri meski kami tidak saling mengenal dan mencintai?

"Bersiaplah, kita akan pulang ke mansion hari ini."

Aku mengerjapkan mataku dan langsung membuang muka saat dia berkata dengan suara dinginnya yang khas. Meski aku mengagumi parasnya, tapi sakit hati ketika aku menatap wajahnya tidak hilang dan malah semakin menyerang. Aku tidak tahu bagaimana mengungkapkan perasaan yang aku rasakan ini. Tapi satu hal yang aku mengerti bahwa aku memang benar-benar tidak menyukainya dan membencinya karena telah membawaku ke kehidupan seperti ini. Aku tidak ingin menyalahkannya, tapi dia juga terlibat dalam kekejaman Ayah.

Tak ingin berhadapan dengannya lebih lama, aku langsung masuk ke dalam kamar mandi untuk bersiap. Aku kira kami akan tinggal di apartemen ini. Untung saja aku belum membereskan bajuku ke dalam lemari.

Lima belas menit kuhabiskan di dalam kamar mandi dan kini aku keluar dengan dress maroon selutut membalut tubuhku. Aku menghembuskan napas perlahan saat kulihat dia tengah mendapatkan telepon dari seseorang. Entah dari siapa. Mungkin dari pacarnya? Eh? Memikirkan hal itu, aku jadi penasaran. Apakah dia memiliki kekasih? Tapi jika benar, kenapa dia menerima pernikahan ini? Atau dia juga sama denganku dipaksa menikah? Rasanya tidak mungkin jika dia dipaksa karena bisa saja dia membantah mengingat dia seorang pria. Atau dia mendapatkan ancaman? Entahlah, aku pusing memikirkannya. Memikirkan hidupku saja rasanya aku ingin menghilang.

"Apa kau sudah siap untuk pergi sekarang? Karena aku mempunyai banyak urusan." Dia berkata setelah menutup teleponnya.

"Kita tidak akan tinggal di sini?" Aku bertanya untuk menghilangkan kecanggungan. Apa salahnya mencoba akrab dengan suami sendiri, bukan? Meski aku masih tidak terima dengan nasibku.

SAVE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang