1. Tetangga istimewa

5.1K 516 36
                                    


Taksi yang dia tumpangi memasuki jalanan desa yang asri. Kanan-kiri dipenuhi pepohonan hijau dan rumah-rumah lereng bukit dengan atap yang diterpa cahaya sore.

Dia menikmati pemandangan dari balik kacamata hitam. Siapa yang peduli jika binar matanya kosong. Sopir taksi yang paham kalau penumpangnya lebih suka diam selama tiga jam perjalanan, tidak berkomentar apa-apa meski pemandangan di luar indah.

Ini kepulangan yang tidak dia rencanakan. Ibu tidak pernah memaksanya pulang kecuali dia sendiri ingin. Dalam setahun dia hanya pulang dua atau tiga kali. Atau malah tidak sama sekali.

Tapi karena satu lain hal, dia kali ini akan menginap lebih dari satu hari. Satu-dua minggu perkiraannya. Meninggalkan studio foto miliknya dan beberapa proyek kerjasama yang dia alihkan ke asistennya. Lalu pergi tanpa membawa satu pun benda yang tidak pernah lepas dari tangannya. Dia bukan sedang burn out dan butuh liburan.

Atau katakanlah demikian. Sekalian jadi alasan kalau ditanya orang-orang. Jawaban yang sederhana, bisa diterima dan tidak menimbulkan pertanyaan lanjutan.

Taksi berhenti. Dia menanggalkan kacamata hitam, memperbaiki ekspresi dan mengembangkan senyum saat wanita paruh baya tergopoh menyongsongnya.

Sakha keluar dari taksi, memeluk erat tubuh Ibu yang setiap tahunnya terus mengecil.

"Harusnya aku yang lari terus pencet jempol kaki Ibu. Biar kayak film India favoritnya Ibu."

"Tapi kamu nggak naik helikopter." Punggungnya ditepuk. "Nggak ada adegan pencet jempol. Ngarang."

Sakha menaruh dagunya di bahu Ibu.

"Kamu makin tinggi," bisik Ibu di dadanya. Sambil tangan senjanya mengusap punggung Sakha penuh rindu.

"Aku udah berhenti tumbuh, Bu."

"Lalu Ibu yang mengecil."

"Ibu hanya makin cantik."

Ibu terlihat salah tingkah. Tidak suka dipuji. Berjalan lebih dulu. Tipikal Ibu. "Ibu udah siapin air panas. Kamu mandi, bersih-bersih, lalu kita makan sama-sama."

Sakha menarik kopernya, berniat menyusul. Tapi sesuatu mencuri perhatiannya. Rumah di seberang. Salah satu jendelanya terbuka kedua sisinya. Tidak ada siapa-siapa yang bisa dia tangkap dari bingkai jendela itu. Bukankah seharusnya tertutup rapat seperti yang sudah-sudah, selama sepuluh tahun ini?

"Rumah depan udah ada yang nempatin, Bu?"

"Ada. Akhirnya ada setelah sepuluh tahun kosong."

"Apa nggak horor?"

"Kamu bisa tanya sendiri ke orangnya nanti."

Sakha memutuskan tidak tanya lagi. Masuk ke kamarnya di dekat tangga sambil menikmati harum nasi liwetnya Ibu. Mandi seperti yang diperintahkan, lalu keluar dengan kaos dan celana rumahan.

Karena dapur rumah ini ada di sayap kiri, punya jendela, Sakha jadi punya akses melihat ke pekarangan depan yang luas dan ditumbuhi rumput jepang. Lalu ke rumah itu. Dahinya tanpa sadar mengerut. Menunggu beberapa saat, siapa tahu ada yang melintas di dekat jendela.

"Cantik yang nempatin." Ibu meletakkan lauk terakhir di meja, kemudian ikut duduk.

Sakha menoleh. "Oh. Iya?"

"Mau kenalan, Ka?"

"Nggak ah. Nanti malah bingung."

"Iya, satu aja belum jadi-jadi dikenalin ke Ibu."

Sakha tersenyum. "Lagi nyari waktu yang tepat."

"Dia udah pindah ke penerbangan domestik, kan?"

"Iya."

Love Wins All [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang