Kaki Sakha terhenti. Dia mundur dua langkah, kembali ke meja berpelitur di mana ada satu kanvas kecil yang disandarkan di dinding. Sakha meneleng, menerka-nerka lukisan yang sedang dia perhatikan ini tentang apa.Mungkin punya Binar.
Sebuah titik hitam bulat, anak tangga dan pohon tinggi. Tidak terlalu bagus gambarnya tapi kalau yang buat Binar, dia akan bilang bagus.
Tak kunjung bisa menebak ini gambar apa, Sakha pun menyerah. Dia melanjutkan langkah. Muncul di ambang pintu kamar Binar sambil mengerutkan dahi lucu. Melihat dua perempuan beda tingkah tersebut. Satu terpingkal, satu tampak jengkel.
Dia kadang merasa Arum cocok jadi adiknya. Tapi untungnya tidak. Sakha sepertinya bakal repot dan pusing.
"Pada ngetawain apa, kayaknya seru. Ajakin dong."
Arum ketawanya sudah tidak bersuara, menunjuk Sakha dan ketawanya semakin ngik-ngik. Binar lelah melihat anak ini berguling-guling menertawakan hal tidak penting. Awas saja kalau mulutnya berani bocor.
"Kalau masuk ketuk pintu dulu." Binar menegur Sakha, mengalihkan.
"Udah tiga kali. Belum dikunci jadi aku masuk. Kalian sibuk ketawa jadi nggak dengar."
Arum mengubah posisi menjadi duduk. Merapikan rambut yang menutupi muka. "Mas Sak-kha ... hfft nggak bawa hfftt ... HP?"
"Lagi dipakai main Jio, dia nginep di rumah Ibu. Kenapa?"
"Oh, nggak hffft nggak kenapa-kenapa."
Pasti ada hal lucu sampai Arum bengek begitu. Dia ingin tanya tapi Binar menyela.
"Terus ngapain kamu di sini?"
Pandangan Sakha pindah ke Binar. "Aku masih tidur di tenda. Tapi nebeng bikin mie lagi, boleh?"
Arum menyahut lancar. "Emang sebelumnya pernah bikin?"
Binar melebarkan mata, memberi kode ke Sakha. Tapi sayang kode tidak sampai.
"Pernah."
"Pagi-pagi?" kejar Arum.
"Malem kok."
"Kapan itu, Mas?"
"Lupa." Setelah sadar Binar sedang memelototinya. Seram sih tidak, malah gemas.
Arum mengulum bibir penuh makna. Sakha berlalu ke dapur. Sudah hapal letak panci dan mangkuk. Memilih jenis mie dengan santai seperti rumah sendiri. Sedang menimbang jumlah mie. Memilih masak dua. Binar tidak mungkin marah.
Binar menarik selimut yang ditindih Arum.
"Mas Sakha, jangan lupa dicuci ya mangkuknya." Arum berseru sembari mengedip ke arah Binar.
"Oke."
"Dua lagi kan bikinnya?"
"Yuhuu."
Arum tertawa lagi.
Binar mendumal tanpa suara dan tidur memunggungi pintu. Arum keluar dari kamar. Terdengar mengobrol dengan Sakha dan sepertinya menemani lelaki itu sampai selesai makan.
Saat hujan deras turun Binar belum benar-benar tidur. Dia merasakan Arum bergabung di kasur, mengangkat selimut dan memeluknya dari belakang.
"Sakha?"
"Bukan, aku Arum."
Masih saja bikin kesal. "Maksudnya, orang itu ke mana?"
"Orang itu, orang itu. Awas kemakan omongan sendiri nanti. Tuhan bikin Mbak manggil dia 'sayang' tiap hari. Gimana tuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...