36. Kita bisa bertahan, katamu

1.4K 339 60
                                    

"Halo. Kamu yang namanya Binar ya?" Pemilik rumah menegur ramah saat Binar menuruni anak tangga.

Meski cukup terkejut, Binar lekas mengangguk diiringi lengkungan senyum. Mempercepat langkah dan menyalami Pak Bagus. Memperkenalkan diri sebagai teman Sakha.

"Mau kopi atau teh, Binar?"

Binar menjawab teh. Lalu ikut duduk di meja makan, dan tak lama wanita paruh baya membawakan secangkir untuknya dari dapur rumah utama.

"Bapak mau naik gunung?" Binar melihat peralatan pendakian yang teronggok di depan garasi. Kemarin belum ada.

"Iya, baru saja diantar perlengkapannya. Tapi sayangnya nggak jadi. Sakha harus pulang."

Binar mengerutkan dahi. Pulang ke mana? Sakha sudah mengiakan bahwa mereka pulang sama-sama.

"Adiknya masuk rumah sakit. Makanya langsung pergi subuh-subuh tadi. Dikabarinnya juga mendadak."

Naira?

Pak Bagus melihat reaksi Binar dan menilai. "Dia buru-buru, lupa pamit ke kamu sepertinya. Nanti pasti dikabari. Atau malah sudah. Kamu cek saja."

Binar memang belum memegang ponsel. Dia baru bangun, cuci muka dan buru-buru turun ke sini. Niatnya mengajak Sakha mencari sarapan di luar. Tapi orangnya sudah menghilang.

Tidak. Binar tidak marah. Sudah jelas pulang karena memang mendesak. Tapi demi sopan santun, Binar masih duduk di kursinya. Menunda keinginan untuk segera mencari ponsel dan mengecek pesan yang ditinggalkan Sakha.

Pak Bagus menyeruput kopi hitamnya. "Sakha pernah cerita tentang kamu. Bapak juga baru ngeh kalau kamu Binar yang dimaksud."

"Cerita apa, Pak?"

"Sudah lama, lima tahun lalu. Dia nggak bilang kami kenal di mana?"

"Semeru."

"Hanya itu?"

Binar mengangguk.

"Saya punya utang budi besar ke dia, Binar. Kamu bayangin dia mapah saya turun dari pos 3. Saya yang waktu itu idealis, sok berani daki sendiri, merasa masih muda. Pas turun kaki saya terkilir. Ketemu Sakha yang hari itu juga sendirian. Tapi dia masih muda. Beda sama saya."

Binar mendengarkan serius.

"Di perjalanan kami ngobrol banyak. Dia bilang suka sama seseorang dari kecil. Bapak heran, kok bisa, kok ada. Ternyata kamu ya yang dimaksud." Pak Bagus tersenyum senang. Seperti akhirnya bisa menebak mana di antara tamunya yang spesial bagi Sakha.

Bingung memberi reaksi, Binar masih diam.

"Saran Bapak, jangan melewatkan orang seperti Sakha." Air mukanya lalu berubah. "Tapi beberapa waktu lalu dia cerita sama Bapak. Nggak mudah situasinya. Kamu sudah tahu, ya? Sepertinya sudah."

Keduanya kompak diam. Pak Bagus urung melanjutkan, takut pagi yang mendung jadi makin muram.

"Jadi orang baik memang sibuk. Sibuk menyenangkan semua orang. Lupa sama kebahagiaannya sendiri. Kamu nggak pengin bawa dia kabur, Bin?" Ada kekehan di ujung kalimatnya.

Binar berseloroh. "Aduh, dia punya Mama dua lho, Pak. Mana berani saya."

"Satu aja berat ya. Ini dua. Anak laki kesayangan keluarga pula." Pak Bagus tergelak. "Jenis kebaikan seperti apa yang pernah kamu lakukan sampai-sampai Sakha seumur hidup menyukai kamu. Jangan-jangan kamu dulu nyelametin nyawanya ya?"

Pertanyaan itu membawa Binar mengingat jauh ke belakang. Mengais-ngais ingatan. Keluarga Binar tidak melakukan hal besar untuk Sakha. Tapi tidak tahu, mungkin itu jadi hal berarti untuk Sakha. Binar malah belum tanya ini.

Love Wins All [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang