"Aku kira cuma di rumahku. Rupanya kamu memang suka ikan."Perhatian Sakha ke ikan-ikan buyar seketika. Pertama, karena suara familier itu. Kedua, saat matanya sedikit bergeser, di antara lalu lalang ikan kecil yang berenang dia menemukan sebentuk wajah di sisi lain akuarium. Membungkuk seperti dirinya.
Sakha sempurna membeku dan kelu.
"Kamu bakal minta ikannya seekor juga?"
Sakha bisa mendengar tuduhan geli itu. Tapi tunggu, tunggu sebentar. Dunianya belum pulih, matanya belum bisa berkedip, benaknya kalang kabut menelaah. Sedangkan sisa kesadaran terus meyakinkan diri bahwa dia tidak salah lihat. Ini nyata bukan lamunan siang bolong.
Menegakkan tubuh perlahan, Sakha bertemu langsung dengan mata Binar.
Hanya ada satu Binar yang dia kenal.
Lucu sekali. Banyak kebetulan dalam hidupnya yang kerap melibatkan perempuan ini. Tapi haruskah terjadi lagi sekarang? Bagaimana reaksi Ibu jika dia ceritakan ini padanya?
Tekad Sakha yang tidak ingin menemui Binar dijawab semesta seketika. Secepat ini.
Sakha berhasil menguasai diri. Sedikit mengangkat sudut bibir. "Hai. Binar."
Setelah Binar menunggu, sama terkejutnya dengan pertemuan ini, Sakha menyapanya lebih dulu. Seperti yang lalu-lalu. Tapi tidak ada kerlingan ramah yang Binar pernah temui tahun kemarin.
Kali ini terlihat sedikit kaku. Mereka hanya tidak bertemu satu tahun, bukan belasan atau puluhan. Tapi tampaknya Sakha tidak senang dengan kebetulan ini.
"Kaget, ya? Sama. Tapi jangan lihat aku kayak lihat hantu."
"Enggak gitu. Maaf." Mengerjapkan mata, Sakha memperbaiki ekspresinya. "Maksudku kenapa kamu bisa di sini, Bi? Bukannya Jakarta. Ibu bilang kamu di Jakarta."
Tidak. Salah. Sakha mestinya bilang selamat lebih dulu. Bukan malah mempertanyakan kenapa Binar ada di sini. Lihat, Binar berdiri tegap di hadapannya, meski terhalang akuarium.
Tapi ini pun juga penting. Sudah berapa kali hal ini terjadi. Kebetulan-kebetulan yang dia pikir sudah seharusnya berhenti, menghampiri mereka lagi.
"Diajak liburan gratis sama pemilik klub. Rame-rame sih. Kamu sendiri kenapa ada di sini?"
"Yang punya rumah ini temenku."
"Temen apa?"
"Dulu ketemu di Semeru."
"Binar." Seseorang memanggil, menuruni anak tangga. Sakha ikut menoleh ke perempuan berpostur tinggi tersebut. Dia mengenalinya sebagai salah satu pemain Blue Phoenix yang mengisi posisi libero. Meski tidak sebaik Dito yang hapal semuanya.
"Udah dateng mobil jemputannya?"
Binar mengangguk singkat. Matanya buru-buru beralih ke Sakha. "Aku tinggal di vila sebelah. Beberapa temenku yang nyusul nginap di sini. Nggak muat."
"Oh."
"Temanmu ya, Bin?"
Binar mengiakan. Mengenalkan dengan semringah. "Dulu dia sering nonton pertandingan kita, Lun."
"Oh ya? Kok nggak pernah nyamperin?"
Binar yang menjawab. "Malu-malu dia. Padahal rajin dateng."
Sakha menyalami Luna. Saling menyebutkan nama. Kemudian mereka berpamitan, sudah ditunggu di depan. Sakha tidak sempat bicara lagi. Selain diam-diam memperhatikan takjub Binar yang menjauh darinya. Berjalan dengan normal.
Sebelum melewati gerbang, Binar menoleh beberapa detik, melempar senyum padanya. Kalau tidak digandeng Luna hampir saja menabrak gerbang.
Sakha tergagap mengartikannya. Apa maksud senyum Binar barusan? Mana wajah jutek yang dia temui di rumah lereng bukit? Mana tatapan galaknya? Hilang ke mana semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...