Hari ke enam Sakha pulang ke rumah, kalau tidak salah hitung. Sebenarnya tidak membosankan seperti yang dia kira. Dia menikmati kepulangannya kali ini. Ibu benar. Mungkin karena ada Binar.
Hari ini dia tidak perlu memutar otak untuk mencari alasan muncul di depan Binar. Arum pagi-pagi datang ke rumah dan meminta tolong padanya. Ayla yang terparkir tiga hari di halaman Ibu akhirnya berguna selain ke pasar. Untung kemarin-kemarin sudah dia cuci.
Sakha tidak tanya bagaimana Arum dan keluarganya berhasil membujuk Binar agar mau pergi ke kondangan kerabat di kota sebelah. Yang bisa dipastikan akan banyak orang, akan banyak pertanyaan dan raut bingung melihat Binar. Tante dan omnya sudah berangkat sejak kemarin.
Binar tampak cantik dengan terusan brukat berwarna burgundi. Rambut selehernya disanggul sederhana. Ada sekitar satu menit Sakha termangu dan lambaian tangan Arum menyadarkannya.
"Aku duduk di belakang, mau sambil ngirim tugas. Ribet kalau di depan." Menolak didebat, Arum langsung membukakan pintu depan untuk Binar.
Meski bimbang harus membantu seperti apa, Sakha tetap mendekat ke pintu yang terbuka. Untuk yang ini dia tidak bisa main gendong saja.
Binar mengulurkan kedua tangannya ke Arum.
Tapi Arum justru menoleh padanya. "Tolong gendong aja, Mas. Biar cepet. Bajuku ribet banyak aksesori takut kesangkut sama bajunya Mbak Binar."
Binar protes. "Banyak alasan ya kamu. Cuma pegangin tanganku nggak bakal lama. Kayak biasanya."
"Bukan protes, aku realistis, Mbak."
"Emang bakal nyangkut? Belum dicoba!"
"Kalau ada yang mudah kenapa mesti ribet. Mas Sakha kuat kok gendong Mbak."
"Kamu juga kuat. Tenagamu kayak badak. Semua beladiri dicobain."
Sakha menyimak pertengkaran mereka dengan santai. Tidak menyela. Menurutnya belum perlu dilerai.
Binar melanjutkan. "Tapi ini bukan masalah Sakha kuat apa nggak. Kamu ngerti nggak sih? Udah untung aku mau diajak pergi."
"Aku nggak merasa repot kok, Bi." Sakha angkat bicara.
Arum mengecek ponsel yang berdenting-denting. "Aduh, tinggal sepuluh menit lagi batas ngumpulinnya. Ayo cepetan! Bisa mati aku!"
"Siapa suruh semalem kamu ..." Kalimatnya tidak selesai. Terkesiap. Sakha merunduk di depannya dan menaruh tangan kiri di bawah lututnya. Tangan lain melingkar di punggungnya. Mengangkat tubuhnya dalam sekali gerakan.
"Agak nunduk, Bi."
Perintah yang dituruti Binar itu nyaris membuat dahinya terantuk pelipis Sakha. Untung refleksnya masih bagus jadi sempat mundur tepat waktu.
Sakha mendaratkan tubuh Binar dengan mulus di jok depan. Berniat memakaikan sabuk pengaman tapi tangan Binar bergerak lebih cepat. Dalam sedetik sabuk tertarik mulus dan terpasang sempurna.
Arum melipat kursi roda lalu memasukkannya ke bagasi. Mereka berangkat. Arum dengan segera membongkar tas laptop. Sibuk sendiri di kursi belakang.
Sakha melihat kedua tangan Binar meremas tali tas di pangkuan. "Rileks, Bi. Aku bawa mobilnya bakal hati-hati."
Seperti menjemput istri habis lahiran, Sakha menyetir dengan tenang. Bahkan jalanan yang tidak rata dan banyak lubang terasa mulus dilalui.
Setelah berhasil mengirim tugas, Arum buka suara. "Mobil Tante Retno baru, Mas?"
"Mobil anak sulungnya."
"Oh, mobil Pak Kades. Aku belum dibolehin bawa mobil sama Mama, Mas. Lain kali boleh ya kita jalan-jalan bareng. Mbak Binar biar lihat kota. Nggak melulu berjemur sama ngerajut. Aku takut Mbak Binar jadi ijo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...