20. Cinta lama yang sebaiknya tidak bersemi lagi

1.4K 297 53
                                    

Yang tadinya ribut ingin pulang, bahkan minta diusir, mendadak Sakha berubah anteng. Lebih ke diam sebenarnya. Mulut cerewetnya tidak berfungsi seperti biasa. Error mungkin.

Padahal tidak ada tanda-tanda Sakha mengantuk. Tapi sungguhan jadi kalem anaknya. Hanya tangan yang bergerak, bergantian dengan Binar, meletakkan keping puzzle.

Situasi jadi canggung sementara Binar tidak pandai menyelamatkan situasi. Sakha yang selalu melakukannya.

Sumpah. Binar tidak melakukan apa-apa. Tidak pula mengatakan hal yang menyakitkan, yang berpotensi membuat orang menjadi patung dan ngebet ingin pulang.

Malahan Binar menahan kepulangan lelaki ini. Kalian juga tahu, bagaimana Sakha suka sekali dengan rumah ini. Muncul seenaknya seperti rumah sendiri.

Sesekali Binar masih melirik lelaki yang duduk di ujung sofa itu. Memastikan diam bukan karena tertidur.

Dia lantas penasaran. Ketika ekspresinya sedang serius dan diam begitu, apa sih yang ada di kepala Sakha? Binar kesal karena jadi menebak-nebak dan sering memperhatikan gestur Sakha sekecil apa pun. Dan terulang lagi yang tempo hari.

Pandangannya jadi merembet ke mana-mana. Pun jadi sadar kalau jemari Sakha tampak cantik untuk ukuran seorang lelaki. Kukunya terpotong rapi dan bersih. Kalau soal cincin pertunangan, bisa saja memang disimpan.

Puzzle belum selesai dirangkai saat Sakha pamit ke kamar mandi. Itu kalimat pertamanya setelah diam selama setengah jam, di bawah pengawasan Binar.

Ponsel di atas meja tiba-tiba berkedip. Binar sangka itu miliknya. Tapi nama yang tertera di layar serta foto background panggilan membuat Binar lekas mengerti. Dia sama sekali tidak menyentuh ponsel Sakha. Membiarkannya terus berdering.

Menampilkan dua senyum yang serupa. Mirip. Mungkin karena mereka tumbuh bersama. Atau mirip karena memang ditakdirkan untuk berjodoh.

Binar belum melepas pandangannya dari layar. Meski posisi ponsel terbalik, dia bisa melihatnya jelas di antara temaram. Sakha mengenakan batik lengan panjang. Di sebelahnya ada perempuan cantik berkebaya, tersenyum membawa buket bunga. Acara kelulusan jika dilihat dari selempang yang dikenakan si perempuan.

Hingga dering itu berhenti dengan sendirinya.

Sakha kembali duduk bersamaan dengan lampu di atas mereka yang menyala.

"Naira barusan telepon. Aku nggak angkat."

Bukannya mengecek ponsel, Sakha mengantongi benda itu di saku celana dan berdiri. "Aku pulang ya. Kamu jangan kemaleman tidurnya. Pintu langsung kunci begitu aku keluar."

Binar menunggu. Menunggu sampai ada kalimat absurd bin receh Sakha setiap kali berpamitan pulang. Tapi hingga pintu depan tertutup dari luar, hanya senyap yang dia dapati. Senyap yang dia hadapi sesaat sebelum Sakha mengetuk pintu dan membawa ketenangan yang cukup di rumah ini.

Tangannya mengibas di atas nyala lilin, memadamkannya. Lalu menertawakan diri sendiri yang bisa-bisanya berharap listrik mati sampai besok pagi.

Matanya bergeser ke benda-benda di meja. Puzzle yang berserakan dan balon tiup yang masih utuh. Dia bukan sedang salah sangka dengan bentuk perhatian yang diberi Sakha. Dia hanya, bagaimana harus mengatakannya?

Meski terlambat mengakui, dia mulai senang berteman dengan Sakha. Terbiasa melihatnya ada di sekitar. Suara berisiknya bahkan tidak lagi terasa mengganggu.

Sejak kapan dia mulai merasa aman? Binar tidak tahu. Barangkali sejak dari pantai. Atau bisa jadi karena balon tiup yang sepele ini serta hal-hal random yang Sakha beri untuknya. Atau malam itu, saat dirinya menangis ketakutan dan Sakha yang pertama menemukannya.

Love Wins All [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang