Sakha cukup pusing mengatur waktu. Akhir tahun adalah waktu tersibuk bagi studionya. Beruntung Naira bisa mengerti. Beberapa yang bisa diputuskan sendiri, Naira tidak meributkan dan selalu mengirim padanya hasil akhir. Entah itu buffet makanan, pilihan suvenir, seragam keluarga dan printilan pernikahan lainnya."Masih kerja padahal lusa mau nikah. Agak lain lo, Bang."
"Naira butuh dinafkahin, Dit." Jawaban yang asbun.
"Iya itu sih pasti. Kayak kurang duit aja. Naira nggak ngelarang kerja?"
"Nggak. Dia nggak suka ngelarang-larang asal ngabarin."
Mereka masih terjebak di acara ulang tahun pemilik skincare ternama. Kekurangan personil, Sakha turun tangan langsung. Yang penting bukan di luar kota.
"Bang, kayaknya lo bakal benci gue deh." Dito bicara di sela mereka membereskan kamera dan peralatan lainnya.
"Kenapa?"
"Atau bakal pecat langsung."
"Lo gelapin duit studio, Dit?" Melipat kaki tripod. "Kalau ngaku sekarang gue maafin. Tinggal berapa? Sini balikin kalau bisa. Lo butuh beli apa? Kan tinggal bilang."
"Bukan."
Selesai mengepak, Sakha membaca pesan singkat dari Naira yang baru bisa dia buka sekarang. Membalasnya segera.
"Dari siapa, Bang? Kayaknya serius."
"Naira. Disuruh mampir rumah."
"Lo butuh ditemenin nggak?"
Sakha tertawa sebelum berpisah dengan Dito di parkiran. "Buat apa ditemenin. Ada-ada aja."
Suasana yang berbeda langsung Sakha rasakan begitu sampai di rumah. Biasanya ada aroma wangi mentega, keju dan sejenisnya. Atau lagu lawas yang diputar lirih ketika Mama belum masuk kamar.
Sakha melewati ruang tamu yang senyap. Mendapati Naira dan Mama yang sudah duduk di meja makan. Menunggunya.
Mungkin hanya perasaan Sakha saja. Kedua perempuan itu kompak melempar senyum tipis menyambut kedatangannya. Masih seperti biasanya.
Ini bukan makan malam yang tertunda. Isi meja makan kosong. Sakha hanya disuruh datang. Tidak peduli sekarang pukul sebelas malam. Sepertinya penting. Karena dari kemarin Sakha dilarang mampir sepulang kerja. Takut lelah di jalan.
"Kamu baru pulang kerja?" Mama bertanya dengan suara lirih.
"Iya, Ma. Tapi deket kok dari sini." Sakha menarik kursi, duduk di sebelah Naira. Menoleh dan menepuk lembut kepala adiknya. "Mana yang mesti aku lihat? Ada masalah sama vendor? Mereka minta tambah biaya buat katering?"
Naira menggeleng. "Nggak ada. Semua beneran udah beres, Mas. Tapi Mama pengin bicara sama kita."
Sakha beralih memandang Mama. Selama persiapan satu bulan terakhir, Mama memang tidak banyak bersuara, tidak ingin mencampuri, selalu terserah maunya anak-anak.
Kali ini barangkali ada yang Sakha dan Naira lewatkan. Kebetulan Mama yang menyadari hal tersebut.
Namun, Mama masih diam hingga bermenit-menit lamanya. Sakha dan Naira saling tatap. Sama bingungnya.
Ketika akhirnya Mama membuka bibir,
"Jangan diteruskan. Jangan menikah."
Naira yang bereaksi paling pertama. Sakha refleks menahan tangan adiknya agar tetap duduk dan mendengarkan penjelasan Mama.
"Mama atau kamu sendiri yang jelaskan, Sakha?"
Sakha terhenyak, tidak mengerti. Apa yang mesti dia jelaskan? Dia datang karena dia pikir ada kendala minor yang mesti mereka rembuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Wins All [End]
RomanceHe fell first, he fell harder. Orang-orang bilang namanya seterang karirnya. Orang-orang mungkin salah. Hidup Binar kembali ke titik ini lagi. Cahayanya redup. Karirnya kandas, mimpinya selesai. Sampai kemudian seseorang datang. Dibanding anugerah y...